Rabu, 22 April 2015

Cerita Para Budak Indonesia di Atas Kapal Neraka


Cerita Para Budak Indonesia di Atas Kapal Neraka Ilustrasi perbudakan. (Thinkstock/MagMos)
 
Jakarta, CB -- "Selamat datang di kapal neraka!"

Suara itu masih terngiang di telinga Bambang Suherman, seorang bekas makelar motor asal Tegal. Pada suatu pagi di bulan April lima tahun silam, hidupnya mendadak suram saat melaut bersama Rich 01, sebuah kapal milik warga Tiongkok.

Ia tak menyangka pada hari itu ia akan berkeliling dunia: melintasi samudera, dan melewati berbagai benua. Bambang yang tadinya hidup jauh dari laut—ia bahkan tak bisa berenang, tak menduga bakal bekerja di kapal itu. Kisahnya panjang dan memilukan, dan berawal dari tergiurnya ia bekerja di negeri asing.

Dari Jakarta ia pun terbang ke Amsterdam, lalu berlanjut ke Trinidad. Dari Trinidad ia menjangkau Port of Spain. Lalu dengan menumpang kapal kecil ia sampai ke Tobago. Dari sini, ia dijemput si pemberi kerja, dan dibawa ke tengah laut. Total perjalanannya 15 hari dari daratan Trinidad ke Tobago, Amerika Selatan, hingga sampai ke geladak kapal Rich 01 itu.

“Ucapan ‘selamat datang di neraka’ itu cukup mengagetkan saya,” ujar lelaki berusia 37 tahun itu kepada CNN Indonesia awal April lalu. Sapaan itu, kata Bambang, datang dari seorang warga Indonesia yang sudah lebih dulu bekerja di kapal penangkap ikan itu.

Kapal mulai bergerak. Ia masih cukup letih. Di perairan lepas samudera Atlantik, ombak ganas mengguncang keras. Ia bukan pelaut, perutnya seperti diaduk-aduk. Bambang akhirnya ambruk karena mabuk. Saat itu ia rasanya ingin pulang ke kampung. Tapi jaraknya begitu jauh.

Baru beristirahat dua jam, dan mencoba untuk tidur, sebuah tendangan membangunkannya. Mual dan pusing mendadak hilang. Tubuhnya kini perih dan sakit akibat pukulan dan lecutan tali pinggang. “Saya dihardik dalam bahasa China, yang saya tahu kala itu mungkin saya diperintahkan bekerja,” kata Bambang mengenang.


Beranjak dari dek tempat tidur para anak buah kapal, lelaki tak tamat SMP itu kembali bersua dengan para penyapanya di haluan kapal: Edi Siswanto, Sanang dan Dober. Mereka awak kapal asal Indonesia, dan sudah setahun lebih dulu bekerja. Lantaran belum pernah melaut, Bambang pun bingung. Di tengah puyengnya menahan mabuk, ia membantu sebisanya, menarik benang pancing sekuat tenaganya.

“Hari pertama saya bekerja dari jam 12 siang sampai besok paginya, hanya sempat dua jam tidur lalu ditendang untuk bekerja lagi,” katanya. “Saya rasa mungkin ini hanya hari awal bekerja di kapal neraka.”

Tapi pekerjaan itu memang cukup berat. Ia menarik benang pancing nyaris 20 jam sehari. Tangan mulusnya sebagai makelar motor kini luka serius tersayat senar. “Bangun setelah tidur dua jam, tangan saya tiba-tiba kaku. Untuk menyendok nasi putih pun tak sanggup. Saya cuma bisa menangis,” ujar lelaki berperawakan kekar itu.

Roda kekejaman itu terus bergulir. Hari demi hari, tak pernah berhenti. Hitungan 20 jam kerja rupanya dianggap lumrah. Mereka bekerja bagaikan budak di kapal neraka.

Bersama Bambang, di kapal Rich 01 milik Kwo Jeng Trading Co Ltd itu, ada 15 kru yang diperlakukan seperti budak.  Lima orang dari Indonesia, tujuh dari Tiongkok, empat orang Vietnam. Dua juragan kapal, masing-masing adalah juru mesin dan kapten, berasal dari Tiongkok.

Pada siang hari, mereka dipaksa menantang ombak ganas Atlantik di bawah matahari terik. Lalu pada malam hari, disergap angin laut yang ganas, tangannya yang luka dipaksa menarik senar pancing untuk mengangkat ikan yang terjerat kail itu.

Tak usah bicara perlindungan, pekerjaan itu bahkan tak dihargai. Para budak kapal menganggap semua itu hanya sebuah kewajiban. “Bahkan merenggut nyawa juga tak mereka tak pedulikan,” kata Bambang.


Mirip nasib Bambang, Imam Syafi’i punya cerita sama. Sebelum melaut dan diperbudak, pemuda asal Tegal itu bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan. Tapi seorang calo TKI di kampungnya bernama Birin membujuknya bekerja di luar negeri. “Saya tidak tahu bekerja apa, yang dia jelaskan pokoknya bekerja di luar negeri gajinya US$ 180 per bulan dan dijanjikan bonus dua kali lipat jika pekerjaan bagus,” kata lelaki 29 tahun itu saat ditemui CNN Indonesia.

Imam meninggalkan Indonesia pada Agustus 2011. Butuh dua hari tiga malam perjalanan udara, tentu dengan singgah di sejumlah bandara,  untuk mencapai Trinidad Tobago. Setidaknya itu yang diingat Imam. “Port of Spain itu nama pelabuhan tempat saya bertolak ke kapal penyiksa ABK bernama Rich 7. Istilah kapal penyiksa itu saya simpulkan setelah saya diperbudak selama dua tahun tanpa upah,” katanya kepada CNN Indonesia. 


 
Perusahaan tempat para anak buah kapal Indonesia bekerja dinyatakan organisasi dunia sebagai pelaku illegal fishing. (CNN Indonesia/Sandy Indra Pratama)


“Kok mau diajak masuk neraka?” ucapan itu meluncur dari seorang senior ABK yang bekerja lebih dulu tiga bulan dari Imam.

Setelah sepekan bekerja, Imam baru sadar. Di atas kapal, jam kerja tergantung pada kaptennya, seorang berkebangsaan Taiwan. Artinya bila kapten masih menyuruh bekerja, terutama saat di fishing ground, para ABK tak boleh berhenti sedetik pun. “Berhenti, maka pukulan dan tendangan bakal melayang,” ujar Imam. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, bawaan dari kapal neraka itu.

Ia terus bekerja, dan gilanya selama dua tahun kapal itu tak pernah bersandar di dermaga mana pun. Hasil tangkapan dijemput oleh kapal kecil, demikian juga kebutuhan logistik kapal diantarkan di tengah laut.

Selama dua tahun upah US$ 180 yang mestinya diterima Imam tak pernah ia dapatkan. Pemilik kapal lantas menelantarkan mereka mengapung di perairan Trinidad-Tobago pada 2013, hingga akhirnya diselamatkan setelah enam bulan mengapung di tengah lautan.  (Baca cerita selanjutnya: Rayuan Permen Bagi Budak Indonesia di Kapal Neraka)

Bambang dan Imam adalah sepenggal kisah muram dari nasib awak kapal yang bekerja di kapal asing penangkap ikan.  Ada sekitar 262 ribu anak buah kapal warga Indonesia bekerja di luar negeri berdasarkan data Kementerian Luar Negeri yang dicatat oleh Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN). Sekitar 77% bekerja di kapal penangkap ikan, dan mereka tersebar di Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika. Sisanya melaut bersama kapal kargo (6,57%), kapal pesiar (6,80%), kapal tanker (0,68%), dan tugboat (8,84%).

Bambang, Imam, dan sejumlah rekan mereka bekas ABK yang diberangkatkan oleh PT Karltigo pernah memperkarakan persoalan ini. Mereka menuntut perusahaan perantara itu dan kasusnya dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.


 
Kondisi tempat tidur para anak buah kapal asal Indonesia saat terdampar di Trinidad dan Tobago (Dok.Istimewa)
Pengadilan digelar dari akhir 2013 hingga awal 2014. Di persidangan terungkap kalau perusahaan itu tak berizin untuk memberangkatkan pelaut. Bahkan, seorang saksi dari Kementerian Perhubungan dalam keterangannya di persidangan menyebutkan kalau buku pelaut yang dibawa para budak asal Indonesia itu palsu.

Sayangnya sang pemilik, Willy, hanya dihukum ringan. Ia dijerat soal pemalsuan dokumen. Atas kesalahannya ia hanya dihukum satu tahun bui dan denda sebesar Rp 40 juta subsidair lima bulan kurungan. Ia tak dihukum atas pasal tindak pidana perdagangan orang.

Kini, Imam tak tahu lagi harus mengeluh kepeda siapa soal upahnya yang tak pernah dibayarkan. Willy sendiri menurut Imam, sudah pergi ke luar negeri. CNN Indonesia menemui banyak cerita yang sama dari mereka yang pernah direkrut perusahaan itu. Mereka dijebak jadi pelaut, tanpa kompetensi cukup, dan dibekali dokumen palsu.

Cerita soal perbudakan di kapal penangkap ikan kembali mencuat setelah adanya pemberitaan soal para ABK asal Myanmar, Thailand dan Vietnam di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Bambang, Imam dan rekan-rekan anak buah kapal asal Indonesia di kapal asing juga sama terancam hidupnya.


 Credit  CNN Indonesia



Catatan Perjalanan Para Budak Kapal Neraka



 Credit  CNN Indonesia



 Tiris Fasilitas Bagi Budak Indonesia di Kapal Neraka


 Credit  CNN Indonesia




Rayuan Permen Bagi Budak Indonesia di Kapal Neraka


Rayuan Permen Bagi Budak Indonesia di Kapal Neraka Ilustrasi Perbudakan. (Getty Images/Mario Tama)
 
Jakarta, CNN Indonesia --
- “Kapan lebaran?”
- “Sudah lewat tiga hari lalu.”

2012.  Perairan Atlantik, pada suatu pagi. Serbuan ikan mereda di kapal Rich 7. Kapal itu tempat bekerja Imam Syafi’i, seorang satpam pabrik yang terjebak menjadi budak kapal asing penangkap ikan asal Taiwan. Mendengar kabar Lebaran sudah lewat tiga hari, dia langsung terpekur.
Sebagai muslim, Idul Fitri adalah hari istimewa. Tapi ia tak pernah tahu bagaimana menghitung hari itu tiba. “Tak ada sama sekali fasilitas penunjuk waktu di atas kapal,” ujar lelaki 29 tahun itu. Jangankan jam atau telepon satelit, kalender saja kata Imam disembunyikan kapten.

Sebagai budak, yang bekerja selama dua tahun di kapal itu dan tanpa dibayar upahnya, yang ia tahu hanya siang dan malam. “Mudah mengenalinya, terang sama gelap,” ujar lelaki itu berkelakar saat diwawancarai CNN Indonesia April lalu.

Ada hari yang dikenalinya sebagai hari besar. Itu adalah hari pergantian kalender lunar dalam tradisi Tionghoa, atau Imlek.  “Kapten merayakannya dengan memperbolehkan kami para ABK makan daging ayam dan babi,” ujarnya. Tapi bagi Imam dan rekan-rekannya yang muslim, babi adalah haram. “Betapa tersiksanya saya melihat daging babi dihidang istimewa saat itu,” kata Imam.

Selepas Imlek? Menu kembali kepada hal biasa: rebusan. Sayur, kacang hijau dan nasi putih polos hanya dihidangkan dua kali dalam 24 jam. Selebihnya adalah jam bekerja. Melempar umpan pada malam hari dan menarik ikan mulai dini hari hingga pagi. 

Berada di tengah samudera membuat dia didera kangen berat ke kampung halaman. Apalagi saat lebaran tiba. Tapi Imam tak bisa mengontak siapapun di daratan sana. Sebenarnya, ada telepon satelit milik kapten. Ia bisa saja meminjamnya.  “Tapi waktu itu setiap sepuluh menitnya dibanderol US$ 500. Harga yang mustahil dengan janji gaji US$ 180 per bulan,” kata Imam.

Selama bekerja, menurut Imam, tak sedikit pun fasilitas kapal yang ia nikmati. Bahkan untuk menghisap sebatang rokok saja, ia harus bersitegang dengan kapten. Belakangan ia diberi rokok pada saat istirahat yang harus ia tebus dengan pemotongan gajinya per bulan. “Kapten punya buku log untuk pengeluaran kami para budaknya,” katanya.

Di kapal Rich 07 milik Kwo Jeng Trading Co Ltd yang berbendera Taiwan itu, ada 13 budak, tujuh orang dari Indonesia, enam berasal dari China, tiga orang berkebangsaan Vietnam. Dua juragan kapal, masing-masing juru mesin dari China dan kapten berasal dari Taiwan. Rute pelayarannya di lautan Atlantik. Sesekali mereka merambah indahnya perairan Karibia tempat cerita kapten Jack Sparrow bermula.

Ditanya masalah kebersihan, Imam tergelak. Air bersih hanya diperuntukan bagi kapten, sang juragan kapal dengan tangan kanannya si penjaga mesin. Sedangkan ABK, selama dua tahun mandi mengunakan air laut. “Sabun sampo dipotong lagi dari gaji, jadi mending tak pakai sampo atau tak mandi sekalian,” katanya. Lagi pula, tambahnya bercanda, mau ganteng juga buat dilihat siapa, orang di tengah samudera begitu.” (Lihat Infografis: Buruknya fasilitas ABK di Kapal Neraka).

Persoalan kesehatan, juga minim. Setiap luka bekas siksaan tak pernah diberikan obat. Kebanyakan, kata Imam, luka para budak itu sembuh sendiri. Nyaris seperti mukjizat. “Pernah saya sakit, makan ikan mentah, mirip di restoran Jepang pikir saya, malah sembuh,” ujar Imam cengengesan. 
Salah satu kapal yang digunakan oleh ABK trinidad and tobago untuk berlayar (Dok Istimewa)


Lantas apa kesenangan kalau para budak diapresiasi kerja oleh Kapten? Imam pernah menangkap sebuah tuna besar. Sang kapten bangga padanya. Apa hadiahnya? “Saya diberi sebutir permen, itu saja,” katanya.

Pernah dia berpikir untuk berontak. Tapi apa daya, kapten punya senjata yang ia sembunyikan. Jadi, mana berani para budak kapal membangkang. “Ancaman akan dibunuh itu sepertinya setiap waktu, selain dari alam dengan ombak yang bergulung-gulung juga dari kapten yang punya senjata api,” ujarnya. 

Itu sepetik kesaksian awak kapal asa Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing. Nasib mereka tak lebih baik dari para korban anak buah kapal yang terungkap di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Semua rekan Imam, bekas ABK yang diberangkatkan oleh PT Karltigo, akhirnya menuntut perusahaan perantara mereka bekerja. Di pengadilan yang digelar dari akhir 2013 hingga awal 2014, terungkap kalau perusahaan itu tak berizin memberangkatkan pelaut. Bahkan, seorang saksi dari Kementerian Perhubungan menyebutkan kalau buku pelaut yang dibawa para budak asal Indonesia itu palsu.



Credit  CNN Indonesia 



Ragam Profesi Para Budak Asal Indonesia


Ragam Profesi Para Budak Asal Indonesia 
 Mereka para budak kapal yang terlunta di Trinidad dan Tobago saat menunggu pertolongan dari pemerintah. (Dok Istimewa)
 
Jakarta, CNN Indonesia -- “Saya tak bisa berenang”

Pernyataan itu mengagetkan. Ternyata Bambang yang hampir dua tahun melaut bersama kapal Rich 01 di Samudera Atlantik dekat Afrika, adalah orang yang tak pandai berenang. Jangankan untuk berenang, kata Bambang yang cengengesan saat ditemui CNN Indonesia, “mengapung saja saya gak bisa.”

Bambang memang bukan pelaut. Ia mengaku sebagai makelar jual beli motor di kampungnya Tegal, sebelum berlayar dan diperbudak di atas kapal. Bayangannya saat ia berangkat dari kampung halamannya, April 2010, ia akan bekerja sebagai pekerja bangunan atau pelayan di restoran. “Setahu saya, tak ada orang Indonesia yang saya temui punya dasar pelaut,” katanya.


Dari cerita Bambang, nyaris semua rekan yang sama bernasib buntung dengan dirinya memiliki beragam profesi. Dari mulai tukang ojek hingga ada yang sebelumnya berprofesi guru bantu. Ini artinya, perusahan perekrut yang memberangkatkan mereka ke tengah laut tak peduli dengan uji kompetensi bagi para pelaut. Padahal pelaut merupakan sebuah profesi yang menuntut keahlian super spesifik. “Rata-rata kami baru tahu bahwa kami akan dibawa berlayar ketika sudah sampai kapal tujuan, sebelumnya mimpinya indah bekerja di luar negeri,” katanya.

Teman satu angkatan Bambang di Kapal Rich 01 ada tiga orang. Mereka berempat berasal dari beragam latar belakang. Dahuri, rekannya dari Pemalang sebelum berlayar dan diperbudak, dikenal sebagai penjual nasi goreng. Lantas, Johar asal Cirebon dan Sudin asal Brebes adalah seorang kuli bangunan. “Jadi kami semua kaget ketika harus menjadi anak buah kapal,” kata Bambang.

Setali tiga uang dengan Bambang, Imam Syafi’i yang juga korban perbudakan kapal asing, adalah seorang mantan satpam di sebuah perusahaan. Saat ditanya apakah ia punya pengalaman melaut, ia hanya menggelengkan kepala sembari tertawa. “Tahunya kerja di luar negeri itu saja,” kata Imam kepada CNN Indonesia.

Imam berangkat pada Agustus 2011. Bersama delapan orang ABK lainnya ia bekerja di Rich 07 selama dua tahun. “Dari delapan orang itu, tak ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelaut. Bahkan Arman teman saya dari Pemalang sebelumnya berprofesi sebagai guru honorer,” katanya. “Pokoknya semua tertipu.”

Cerita getir Imam adalah saat ia berangkat bersama rekannya menuju Trinidad Tobago. Lantaran Imam dan semua temannya tak bisa berbahasa Inggris, ia celingukan dan tersesat selama delapan jam di Bandar Udara Schipol, Amsterdam, Belanda. “Kami semua tak bisa berbahasa Inggris,” ujarnya. Dia menduga, karena kendala bahasa, mereka jadi ssaran empuk perbudakan.

Misalnya, Imam dua tahun bekerja di tengah laut. Kapalnya tak pernah bersandar selama itu. Begitu pula upah US$ 180 yang menjadi haknya, tak pernah ia dapatkan. Pemilik kapal lantas menelantarkan mereka mengapung di perairan Trinidad Tobago pada 2013. Mereka akhirnya diselamatkan setelah enam bulan mengapung di tengah lautan.

Ada sekitar 262 ribu anak buah kapal warga Indonesia bekerja di luar negeri berdasarkan data Kementerian Luar Negeri yang dicatat oleh Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN). Sekitar 77% bekerja di kapal penangkap ikan, dan mereka tersebar di Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika. Sisanya melaut bersama kapal kargo (6,57%), kapal pesiar (6,80%), kapal tanker (0,68%), dan tugboat (8,84%).
 
Salah satu kapal neraka yang menjalankan perbudakan terhadap abk asal Indonesia. (Dok Istimewa)


Imam, dan sejumlah rekan mereka bekas ABK yang diberangkatkan oleh PT Karltigo, pernah memperkarakan persoalan ini. Mereka menuntut perusahaan perantara itu dan kasusnya dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Pengadilan digelar dari akhir 2013 hingga awal 2014. Di persidangan terungkap kalau perusahaan itu tak berizin untuk memberangkatkan pelaut. Bahkan, seorang saksi dari Kementerian Perhubungan dalam keterangannya di persidangan menyebutkan kalau buku pelaut yang dibawa para budak asal Indonesia itu palsu.

Cerita soal perbudakan di kapal penangkap ikan kembali mencuat setelah adanya pemberitaan soal para ABK asal Myanmar, Thailand dan Vietnam di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Bambang, Imam dan rekan-rekan anak buah kapal asal Indonesia di kapal asing juga sama terancam hidupnya.

Credit CNN Indonesia