Kamis, 18 Mei 2017

Ambisi RI Kembangkan Nuklir untuk Teknologi Kesehatan dan Pangan


 

Ambisi RI Kembangkan Nuklir untuk Teknologi Kesehatan dan Pangan
  Foto: dikhy sasra


Jakarta - Melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) atau Inuki, Indonesia memproduksi nuklir menjadi radioisotop. PT Inuki menjadi satu-satunya BUMN yang bergerak dalam industri berbasis teknologi nuklir.

Radioisotop adalah zat yang memancarkan radioaktif nuklir. Berbagai jenis radioisotop yang diproduksi oleh Inuki biasanya digunakan untuk mendeteksi (diagnosa) penyakit, salah satunya kanker.

"Radioisotop Inuki ini biasanya untuk medis, khususnya untuk diagnosa penyakit, sekarang kan maju. Misalnya untuk fungsi organ yang akurat, untuk mengecek apakah tubuh saya itu punya bibit kanker dan segala macamnya, itu memang menggunakan radioisotop," kata Direktur Utama Inuki, Bambang Herutomo ditemui di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (17/5/2017).

Selain memproduksi radioisotop, Bambang menjelaskan, Inuki tengah mengembangkan produk radioisotop lainnya untuk menghasilkan sinar gama yang digunakan untuk sterilisasi pada makanan dan pengawetan makanan.

"Dalam waktu lima tahun, kita fokus di pangan, pengawetan lewat teknologi sinar gama. Jadi radiasi gama itu bisa untuk mengawetkan bahan pangan, membunuh jamur, bakteri, ulat," ucap dia.

Teknologi sinar gama juga menjadi semakin prospektif lantaran adanya kebijakan negara-negara untuk menerima ekspor produk yang menggunakan bahan kimia, sehingga radiasi gama menjadi pilihannya.

"Sekarang ekspor kan tidak boleh pakai pengawet bahan kimia. Khususnya di Amerika kan sudah ditolak. Baik pangan, juga produk perikanan misalnya udang dan lain-lain hasil perikanan laut. Jepang itu kan sangat sensitif (pakai bahan kimia), jadi membunuhnya pakai sinar gama," ungkapnya.


Namun, usaha bisnis pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia masih jauh dari kata ekspansi. Hal ini disebabkan adanya kendala dari pengembangan kedokteran nuklir di Indonesia seperti misalnya langkanya tenaga ahli, masalah pengadaan radiofarmaka/radioisotop, biaya pemeriksaan yang dianggap mahal, dan belum dikenal oleh masyarakat luas.

"Karena banyak peralatan kedokteran nuklir yang sudah tua rusak, rumah sakit juga enggak memperbaharui," tutur Bambang.



Credit  finance.detik.com

Produk Nuklir RI Diekspor ke Vietnam Hingga Bangladesh

 

Produk Nuklir RI Diekspor ke Vietnam Hingga Bangladesh
  Foto: Eduardo Simorangkir/detikFinance


Jakarta - PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki) menjadi satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pemanfaatan teknologi nuklir. Teknologi nuklir yang identik dengan senjata pemusnah massal dimanfaatkan oleh Inuki untuk memproduksi radioisotop yang berguna bagi industri medis.

Meski terlihat kecil dibanding BUMN-BUMN lainnya yang tumbuh menggeliat, keberadaan PT Inuki yang dulu dikenal dengan nama Batan Teknologi ini cukup berpengaruh lantaran menjadi satu-satunya BUMN yang memproduksi radioisotop di dalam negeri.

Direktur Utama Inuki, Bambang Herutomo, mengatakan 60% hasil produksi radioisotop Inuki diekspor ke luar negeri, sedangkan sisanya untuk dipasarkan di berbagai rumah sakit yang ada di dalam negeri.

"Misalnya Asia Selatan, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Filipina. Tapi kan sedikit-sedikit mereka, walaupun terbuka pasarnya. Produk kita juga sesuai dengan yang diharapkan dan kita juga bersaing harganya," katanya saat ditemui di acara Diskusi Ancaman dan Pemanfaatan Nuklir di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (17/5/2017).

Meski masih mengekspor dalam skala kecil, produksi radioisotop Inuki termasuk pemain utama di wilayah Asia namun masih kalah dengan negara-negara besar seperti Belanda, Polandia dan Afrika Selatan. Negara pemasok terbesar radioisotop sendiri dipegang oleh Kanada.

"Di Asia itu enggak ada. Saingannya itu Belanda, Polandia, Kanada, Afrika Selatan. Australia saja dianggap anak bawang, tapi kita juga," tutur Bambang.


Inuki tengah menjajaki pasar ekspor baru yaitu China. Negeri tirai bambu itu menjadi pasar yang potensial lantaran jumlah penduduknya yang banyak. Namun kapasitas produksi yang masih kecil membuat Inuki juga sulit untuk mengembangkan pasar ekspor terlalu besar.

"Mungkin ke depan China membutuhkan banyak radioisotop itu, tapi kita belum sanggup untuk memenuhi. Karena kapasitasnya kita enggak cukup," pungkasnya.


Credit  finance.detik.com


Produk Nuklir RI Bersaing dengan Belanda Hingga Afrika Selatan



Produk Nuklir RI Bersaing dengan Belanda Hingga Afrika Selatan
Foto: dikhy sasra


Jakarta - PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) atau Inuki mengembangkan teknologi nuklir di tanah air dengan menghasilkan produk radioisotop. Hasil produksinya sebagian besar diekspor ke luar negeri seperti Thailand, Vietnam hingga Bangladesh.

Meski volume dan nilai produksi masih dalam jumlah yang kecil, Direktur Utama PT Inuki, Bambang Herutomo mengatakan produk radioisotop yang diekspor Inuki bersaing dengan negara-negara maju seperti Belanda, Polandia, Afrika Selatan hingga Kanada.

"Saingannya itu Belanda, Polandia, Kanada, Afrika Selatan. Australia saja dianggap anak bawang, tapi kita juga," kata Bambang saat ditemui usai acara Diskusi Ancaman dan Pemanfaatan Nuklir di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (17/5/2017).

Niat untuk berekspansi sendiri ada untuk mengembangkan pasar yang lebih jauh lagi. Namun kapasitas produksi yang masih kecil dan perhatian yang belum optimal untuk pemanfaatannya membuat usaha Inuki untuk mencari pasar baru sulit dikembangkan.

"Kalau (permintaan) dalam negeri malah turun trennya. Karena banyak peralatan kedokteran nuklir yang sudah tua rusak, rumah sakit enggak memperbaharui. Kalau ekspor naik. Misalnya Bangladesh, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina. Tapi untul memenuhi kebutuhan Jepang, China, Korea enggak sanggup kita karena kapasitas kita kecil," ujar Bambang.

Meski tak bisa menyebut angka detail bisnis perusahaan, Bambang mengaku perusahaan tak lagi menjadi BUMN yang merugi dalam operasionalnya. Namun dengan market share yang kecil membuat Inuki sulit untuk bersaing dengan produsen besar dari negara-negara dunia tersebut.

"Karena pasar itu juga yang menguasai produsen besar, kita kan enggak bisa melawan produsen besar. Kalau misalnya kita start dengan harga 5, tahu-tahu mereka bisa 4, kan kita jadi enggak bisa bersaing. Tapi kita juga cari terobosan-terobosan untuk bisa disamakanlah," pungkas Bambang.


Credit  finance.detik.com/energi