Kamis, 19 Oktober 2017

Dokumen Rahasia AS Ungkap Upaya Penggulingan Sukarno dan PKI


Dokumen Rahasia AS Ungkap Upaya Penggulingan Sukarno dan PKI 
Presiden Soekarno dan periwara tinggi AD Soeharto saat berbincang, pada 1966. Kedua pihak disebut terlibat perseteruan kekuasaan melalui perstiwa 1965. (Foto: AFP PHOTO / PANASIA)


Jakarta, CB -- Pemerintah Amerika Serikat disebut mengetahui rangkaian upaya Angkatan Darat (AD) untuk menghancurkan Partai Komunis negara (PKI) dan menggulingkan Sukarno mulai tahun 1965. Pengungkapan itu didasarkan oleh rangkaian kawat diplomatik kedutaan Besar AS di Jakarta.

Sebanyak 39 dokumen dengan total 30 ribu halaman tentang AD dan PKI itu dipublikasikan oleh lembaga non-profit National Security Archive (NSA), lembaga National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA), dalam situs nsarchive.gwu.edu, 17 Oktober.




Rangkaian dokumen yang berbentuk catatan harian dari tahun 1964-1968 itu menyebutkan, di antaranya, tentang upaya AD untuk menyingkirkan Sukarno dan menghancurkan gerakan kiri di Indonesia, eskekusi terhadap pemimpin PKI, serta keterlibatan pejabat Amerika dalam mendukung upaya AD itu.

Disebutkan, upaya penjatuhan Sukarno itu tak lepas dari pendekatan AD kepada sejumlah kedutaan besar negara-negara Barat. Hal itu dilakukan untuk melihat kemungkinan kesuksesan gerakan tersebut.

"Menurut pejabat di Kedutaan Besar Jerman, AD Indonesia saat ini sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk menjatuhkan Sukarno," seperti tertulis dalam dokumen telegram Kedubes AS di Jakarta kepada Menteri Luar Negeri, tanggal 12 Oktober 1965.


Dokumen Rahasia AS Ungkap Upaya Penggulingan Sukarno
Telegram dari Kedutaan AS di Jakarta pada 12 Oktober 1965. (Screenshot via nsarchive2.gwu.edu)


Kepada Kedubes Jerman, seorang utusan AD menyatakan, itu belum menjadi sebuah keputusan. Jika sudah, hal tersebut akan dilakukan dengan "gerakan yang tiba-tiba, tanpa peringatan, dan Sukarno akan digantikan oleh kombinasi junta milter dan sipil."

Utusan tersebut juga mengindikasikan bahwa AD berharap simpati dan bantuan ekonomi dari negara-negara Barat jika mereka menggulingkan Sukarno. Bentuknya, "makanan dan persediaan-persediaan yang memungkinkan lainnya, ketimbang bantuan keuangan."

Dokumen yang sama menyebut, Sukarno pernah memaki AD karena disodori dokumen yang memperlihatkan keterlibatan PKI dalam peristiwa 30 September. Dokumen itu sendiri enggan dibaca olehnya. "Para jenderal AD pergi dengan rasa frustasi mendalam."

Laporan terpisah dari Kedubes Australia menyebutkan, pendekatan itu dilakukan oleh perwira AD Nasution.



Dokumen Rahasia AS Ungkap Upaya Penggulingan Sukarno
Nama Adnan A. Bujung Nasution yang disebut dalam dokumen tanggal 23 Oktober 1965 (Screenshot via nsarchive2.gwu.edu)
Gerakan untuk menggalang dukungan untuk menjatuhkan Sukarno ini juga dilakukan mantan Menetri Keuangan Sjarifuddin Prawiranegara kepada mantan pejabat USAID Edwin L. Fox. Sjarifuddin mulanya mengapresiasi upaya Amerika untuk menyingkirkan komunisme di Vietnam dan memberikan demokrasi.


"Begitu pula Indonesia. Jika rakyat bebas untuk memilih, mereka akan memilih sebuah pemerintahan yang lebih demokratis, ketimbang pemerintahan totaliter saat ini, 'demokrasi terpimpin', yang memerintah negara dengan segala penyalahgunaan, eksperimen dan petualangan yang tidak bertanggungjawab di bawah slogan 'vivere pericoloso' (hidup penuh bahaya)," tulis surat bertanggal 5 Agustus 1965 itu.

Sementara itu, Sutarto, asisten khusus Roeslan Abdulgani, mengatakan, gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini digerakan oleh AD dan muslim anti-PKI.

"Dia bagus, orang kuat," kata Sutarto, mengomentari tentang Soeharto, yang ketika itu merupakan perwira AD yang tergabung dalam gerakan tersebut, seperti tercantum dalam dokumen bertanggal 18 Oktober 1965.


Letkol Untung saat tiba di pengadilan militer untuk diadili atas dugaan keterlibatan dalam Gerakan 30 September.
Letkol Untung saat tiba di pengadilan militer untuk diadili atas dugaan keterlibatan dalam Gerakan 30 September. (Foto: AFP PHOTO)

Dalam catatan perbincangan (Memorandum of Conversation) dengan Wakil Sekretaris Kedubes AS Robert G. Rich Jr. yang dilakukan pada 15 dan 19 Oktober 1965, mendiang Adnan Buyung Nasution, saat masih menjabat asisten Jaksa Agung, disebut-sebut memiliki kontak dengan pimpinan AD dan berbicara tentang kelanjutan upaya pemberantasan komunis di jakarta.

"Nasuiton berkata bahwa AD sudah mengeksekusi banyak komunis, namun fakta ini harus benar-benar dijaga," tulis dokumen tersebut.

Kedubes AS pun mengetahui adanya pembantaian anggota PKI oleh "Ansor" di sejumlah wilayah di jawa Timur. Misionaris yang baru kembali dari Kediri, Jawa Timur, pada 21 November 1965, melihat 25 mayat di sungai. Misionaris Mojokerto melaporkan melihat 29 mayat di sungai.

"Dia mendengar pembantaian terbesar terjadi di Tulungagung, dimana 1.500 komunis dibunuh," tulis telegram Kedubes AS tanggal 24 November 1965. Pembantaian terhadap PKI juga berlanjut di perbatasan Surabaya. Korban yang cedera pun menolak untuk kembali ke rumahnya.


Dokumen Rahasia AS Ungkap Upaya Penggulingan Sukarno
(Screenshot via nsarchive2.gwu.edu)
"Dilaporkan juga bahwa pembantaian di Jawa Timur ini berkorelasi dengan Perang Suci: pembunuhan kafir memberi jaminan tiket ke surga dan lebih menjamin jika darah korban diusapkan ke wajah," seperti tertulis dalam dokumen itu juga.




Pengungkapan dokumen lama itu sendiri merupakan respons atas meningkatnya minat masyarakat terhadap dokumen yang tersisa mengenai pembunuhan massal tahun 1965-1966 yang ada di AS.

Dokumen itu juga menyinggung hubungan AS-Indonesia, upaya Inggris dalam pembentukan Malaysia, dan perluasan operasi rahasia AS yang bertujuan memicu bentrokan antara Angkatan Darat dan PKI.

Selama ini, kisah tentang seputar peristiwa 1965 dinilai didominasi oleh narasi tunggal karya Orde Baru. Bahwa, Gerakan 30 September dilakukan oleh PKI demi merebut kekuasaan. Para jenderal AD pun dibunuhi. Dan Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden, tampil sebagai penyelamat.

CNNIndonesia.com menghubungi Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto dan Kadispen TNI AD Brigjen lfret Denny Tuejeh, terkait dengan pemberitaan itu namun keduanya belum merespons.



Credit  cnnindonesia.com


Dokumen Rahasia: AS Tahu Gerakan Anti-PKI 1965


Kader Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kader Partai Komunis Indonesia (PKI).


CB, WASHINGTON -- Ribuan dokumen dari Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 1963-1966 dibuka ke publik, Selasa (17/10). Dalam dokumen itu terungkap, AS mengetahui gerakan anti-Komunis di Indonesia.

Seperti dikutip BBC, AS tahu ada pergerakan orang-orang untuk melakukan pembunuhan dalam gejolak politik tersebut.
Sedikitnya 500 ribu orang tewas antara 1965-1966 menyusul gerakan pembersihan yang disebut dokumen melibatkan militer. BBC yang mengutip dokumen juga menyebut keterlibatan milisi Muslim dalam gerakan melawan Komunis.   

Dalam dokumen staf AS menggambarkannya sebagai 'pembantaian' dan pembunuhan 'tanpa pandang bulu'.   Hal itu menunjukkan, AS telah mengerti adanya operasi untuk melakukan pembersihan terhadap Partai Komunis dan kelompok kiri.

Menurut staf Kedutaan Besar AS di Jawa Timur yang tercatat pada 28 Desember 1965, 'korban' dibawa dari permukiman sebelum akhirnya dibunuh. Jasad korban dikubur daripada dibuang ke sungai. Telegram staf AS juga mengatakan, tahanan-tahanan yang ditengarai komunis dilepaskan ke warga sipil untuk dibunuh.

Dokumen lain yang dikompilasi sekretaris pertama Kedutaan AS tercatat pada 17 Desember 1965 juga mencatat detil daftar pemimpin komunis di seluruh Indonesia, apakah mereka dibunuh atau ditangkap.

Pada Desember 1965, kabel konsulat AS di Medan di Sumatra mengatakan, keterlibatan pendakwah Muhammadiyah dalam memprovokasi warga menghakimi tersangka komunis.  Bunyi telegram lain menunjukkan keterlibatan barisan pemuda NU dalam pembunuhan orang-orang yang ternyata bukan anggota Komunis. Pembunuhan lebih dikarenakan oleh persoalan pribadi.  

Tragedi 1965-1966 tak terlepas dari persaingan politik di dunia antara AS dengan Soviet dan Cina.  Seperti dikutip the Guardian, pada 1965 Indonesia memiliki partai komunis terbesar setelah Cina dan Uni Soviet dengan pengikut yang mencapai jutaan orang.

Keluarga korban dari pembantaian 1965-1966 menuntut pemerintah meminta maaf. Namun hal itu memicu kontroversi. Beragam ormas Muslim menolak permintaan itu, mengingat kekejaman yang dilakukan oleh PKI dari mulai pemberontakan 1948.

Brad Simpson, direktur Indonesia and East Timor Documentation adalah pihak yang meminta agar dokumen-dokumen tentang peristiwa 1965-1966 dibuka.  "Dokumen ini menunjukkan bagaimana pejabat AS mengetahui tentang banyaknya orang yang dibunuh," ujarnya. Sikap AS saat itu, adalah diam. 



Credit  REPUBLIKA.CO.ID