Jumat, 20 Oktober 2017

Kerja Paksa di Sektor Perkebunan Australia Dinilai Mirip Perbudakan


abc news
abc news



Australia didesak untuk mengambil sejumlah langkah demi mengatasi kondisi ketenagakerjaan yang digambarkan serupa dengan perbudakan modern, dengan industri hortikultura dianggap paling terbuka sebagai lahan untuk eksploitasi.
Penyelidikan yang dilakukan Parlemen Australia telah merekomendasikan bahwa peraturan kontrak tenaga kerja lintas batas yang konsisten harus diadopsi di seluruh industri negara ini.
Penyelidikan itu juga menyarankan bahwa kewenangan investigasi yang lebih luas harus diberikan kepada lembaga ‘Fair Work Authority’.
Penyelidikan tersebut sedang menginvestigasi peranan penting Inggris dalam mengadopsi Undang-Undang Perbudakan Modern, dan hampir selesai dengan satu-satunya sidang regional di Mildura, negara bagian Victoria, yang akan diselenggarakan pada 30 Oktober.
Sebuah laporan dijadwalkan untuk terbit bulan depan.

Kabur dari Cairns terjebak di Mildura

"Paul" diiming-imingi pergi ke Cairns dari Papua Nugini, dengan janji akan pendidikan TAFE (kejuruan) dan pekerjaan yang bagus, namun nyatanya ia ditipu oleh pemilik kebun pisang dari ujung utara Queensland.
"Saya bekerja dari jam 6:00 pagi hingga jam 6:00 petang mengendarai traktor dan makan roti serta minum anggur untuk sarapan dan makan siang, lalu makan daging cincang rebus untuk makan malam. Saya tinggal di gudang dengan seekor anjing," ujar Paul.
Ia tidak dibayar sepeser-pun dan sebaliknya, ketika Paul meminta gaji kepada sang pemilik kebun, ia diberi tahu bahwa gajinya ditabung untuk membayar kursus TAFE. Setelah enam bulan, Paul menemukan puluhan pekerja asing lainnya di perkebunan berada dalam masalah yang sama.
"Saya mengemudikan traktor ke sisi lain dari perkebunan ke tempat saya mengenal seorang pekerja asal Fiji, dan ia mengatakan bahwa ia sudah berada di sana tujuh tahun," tutur Paul.
Paul berhasil melarikan diri, dan pada bulan Juni 2016, pemilik kebun pisang -Sona Singh Bhela -dari Cairns dipenjarakan selama tiga setengah tahun karena penipuan visa yang melibatkan 43 imigran asal Punjabi, India.
Tapi masalah Paul belum berakhir. Ia tiba di Mildura, Victoria barat, untuk bekerja di belasan pertanian di distrik tersebut. Tinggal dalam kondisi kumuh dan sempit, bayaran Paul kurang dari sepersepuluh dari UMR setempat.
"Saya dibayar tunai dan saya ditinggalkan dengan hanya  60 dolar AS sampai 70 dolar AS (atau setara Rp 600 ribu-700 ribu). Kami tidur di ranjang susun, empat ranjang dalam satu ruangan," katanya.
"Mereka mengambil uang kami, kontraktor, untuk membayar bahan bakar, truk bak terbuka, makanan dan (pemilik) mendapatkan semua uang sewa. Kami hanya disisakan 60 dolar AS (atau setara Rp 600 ribu).
"Mereka juga mengancam kami dan mengatakan 'polisi akan datang [jadi] jika kamu tak ingin kembali ke Papua Nugini, sebaiknya kamu kerja dan tetap diam'."

Kewenangan lebih untuk Fair Work Authority

Ada harapan bahwa jeratan hutang lewat kerja paksa seperti yang dialami Paul akan berakhir jika Australia mengadopsi Undang-Undang Perbudakan Modern.
Seraya memberikan bukti kepada Penyelidikan Parlemen Australia yang tengah menjajaki kemungkinan Undang-Undang di masa depan, lembaga Gangmasters and Labor Abuse Authority (GLAA) yang berbasis di Inggris mengatakan bahwa Australia harus mengadopsi peraturan yang konsisten mengenai kontraktor yang dipekerjakan di seluruh industri dan wilayah negara.
GLAA didirikan setelah 23 pekerja China tenggelam saat memanen tiram di sebuah teluk di timur laut Inggris, pada tahun 2004.
Pada tahun 2015, kewenangannya diperluas dari sektor pertanian dan perikanan ke industri lain seperti perhotelan di mana lembaga tersebut menyelidiki masalah kriminal.
Petugas Angkatan Perbatasan Australia menggrebek perkebunan stroberi di pinggiran Perth dan menahan 36 pekerja ilegal.
Petugas Angkatan Perbatasan Australia menggrebek perkebunan stroberi di pinggiran Perth dan menahan 36 pekerja ilegal.
Supplied: Australian Border Force
Daryl Dixon dari GLAA mengatakan kepada Penyelidikan Parlemen bahwa kewenangan tersebut perlu diberlakukan secara konsisten di Australia atau mereka tak akan berfungsi dengan baik.
"Misalnya, Pemerintah Negara Bagian Victoria telah mengindikasikan bahwa pihaknya akan memberlakukan lisensi kontraktor yang dipekerjakan, namun negara bagian lain seperti New South Wales dan Queensland mungkin tidak memberlakukan lisensi itu dengan standar yang sama," katanya.
"Anda mungkin memiliki perusahaan tenaga kerja yang memasok pekerja ke Victoria dari daerah yang longgar peraturannya di mana Pemerintah Victoria tidak bisa mengaturnya dengan cara yang sama."

Kelompok hortikultur tawarkan solusi

Baik negara bagian Victoria dan Queensland melaporkan adanya kekurangan pekerja yang besar, dengan panen bawang di tenggara Queensland membusuk di tanah setelah turunnya hujan deras.
Ini terjadi setelah negara bagian itu, beberapa tahun belakangan, melakukan tindakan keras terhadap pekerja ilegal dan pembunuhan brutal terhadap turis backpacker asal Inggris, Mia Ayliffe-Chung.
Ibu Mia, Rosie Ayliffe, telah membuat sebuah kampanye untuk menghentikan eksploitasi dalam skema perpanjangan visa 88 hari melalui media sosial.
Tapi menurut Rachel McKenzie dari organisasi Growcom, tidak ada hak bagi para pemilik lahan yang (salah) merasa difitnah oleh backpacker.
Federasi Petani Victoria menyerukan amnesti bagi para pekerja ilegal. "Kami tidak mengatakan untuk memberi mereka status tinggal permanen atau jalur untuk mendapat izin tempat tinggal permanen," kata Emma Germano, presiden hortikultura VFF.
"Tapi mari kita beri mereka visa pertanian khusus selama beberapa tahun, jadi setelah menghasilkan uang mereka bisa membawanya kembali ke tempat asal mereka."
Germano mengatakan, meskipun jeratan hutang lewat kerja paksa dan kerja paksa yang serupa perbudakan terjadi di sektor lain, para pemilik kebun mendapat perlakuan khusus.
"Saat ini, para pemilik kebun diminta untuk menjadi petugas imigrasi dan petugas pajak, dan ini terbukti sangat sulit untuk merekrut tenaga pemetik ke perkebunan," katanya.
Growcom mengatakan, amnesti pekerja ilegal adalah reaksi spontan dan malah mendukung pengaturan perusahaan tenaga kerja. "Kami benar-benar percaya bahwa rekrutmen tenaga kerja harus diatur di tingkat nasional, dan konsisten di semua negara bagian," kata McKenzie.
"Kami memiliki beberapa negara bagian yang mengembangkan peraturan perekrutan tenaga kerja dengan cukup luas dan sejumlah negara bagian lainnya tak demikian.”





Credit  republika.co.id/australiaplus.com