Kamis, 26 April 2018

FBI Disebut Turut Terlibat dalam Kasus Anti-Muslim


Petugas FBI (ilustrasi)
Petugas FBI (ilustrasi)
Foto: Reuters


Maraknya kasus anti-Muslim di AS karena terpengaruh Donald Trump.




CB, WASHINGTON -- Council on American-Islamic Relations (CAIR) telah merilis laporan tentang hasutan dan insiden anti-Muslim yang terjadi di Amerika Serikat (AS) sepanjang 2017. Dalam laporannya, CAIR menyebut sepertiga dari kasus anti-Muslim di sana melibatkan lembaga pemerintah federal.

CAIR mengatakan sepanjang 2017, terdapat 2.599 insiden anti-Muslim yang dilaporkan kepadanya. Sebanyak 919 kasus di antaranya atau sekitar 35 persen melibatkan lembaga pemerintah.

Patroli Bea dan Perbatasan AS terlibat dalam 348 kasus anti-Muslim. Sementara FBI terlibat dalam 270 kasus. Persentase kasus anti-Muslim yang melibatkan kedua lembaga tersebut mencapai 67 persen.

Adapun sisa lembaga pemerintah yang turut terlibat dalam kasus anti-Muslim adalah Administrasi Keamanan Transportasi sebanyak 72 insiden atau sekitar 8 persen, Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan sebanyak 5 persen, dan Immigration and Customs Enforcement menyumbang 4 persen. Sedangkan 12 persen kasus lainnya melibatkan beberapa lembaga pemerintah federal.

"Ini menunjukkan bagaimana Islamofobia semakin dilembagakan (di AS)," ujar Zainab Arain, koordinator departemen penelitian dan advokasi CAIR, dilaporkan laman Huffington Post.

Menurutnya, maraknya kasus anti-Muslim di AS tak dapat dilepaskan dari sosok Donald Trump. "Bukan hanya kepresidenannya, tetapi bahkan kampanyenya sebelum menjadi presiden," ucap Arain.

Ia mengatakan saat ini terdapat sejumlah tokoh di pemerintahan AS yang memiliki pandangan anti-Muslim. Hal itu berpotensi mendorong diadopsinya kebijakan anti-Muslim yang mengakibatkan diskriminasi disetujui di negara tersebut.

Arain berpendapat banyaknya lembaga pemerintah yang terlibat dalam kasus anti-Muslim tak mungkin dilepaskan dari kebijakan larangan perjalanan dari enam negara mayoritas Islam yang diterbitkan Trump. Ia menilai kebijakan tersebut tidak konstitusional.

"Bagaimana sekarang kita melindungi diri kita sendiri ketika sumber yang seharusnya kita cari untuk menjamin hak-hak kita tidak lagi menjamin hak-hak kita, tetapi sebaliknya, melanggar (mereka)?" kata Arain.

CAIR merupakan kelompok hak asasi manusia dan advokasi Muslim terbesar di AS. Setiap tahunnya CAIR menampung keluhan dan laporan tentang kejadian anti-Muslim di seluruh AS. Keluhan itu disampaikan melalui telepon, surel, dan metode daring.

CAIR juga kerap terlibat dalam gerakan yang membela hak-hak Muslim. Pada Oktober 2017, misalnya, CAIR bersama Islamic Society of North America (ISNA), Muslim American Society, dan beberapa organisasi Islam AS lainnya menggelar demonstrasi di depan Gedung Putih. Dalam aksi tersebut mereka mendesak Pemerintah AS agar segera menekan Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap Rohingya.




Credit  republika.co.id