Jumat, 20 April 2018

Minta Korut Lucuti Nuklir, tapi AS Modernisasi Senjata Nuklirnya


Minta Korut Lucuti Nuklir, tapi AS Modernisasi Senjata Nuklirnya
Rudal balistik antarbenua berhulu ledak nuklir Amerika Serikat di Pangkalan Angkatan Udara Malstrom, Montana. Foto/REUTERS


JENEWA - Rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un sebagai upaya Washington untuk melucuti senjata nuklir Pyongyang menuai pujian. Namun, Washington sendiri menuai kritik keras karena justru memodernisasi senjata nuklirnya sama seperti halnya Rusia.

Pujian sekaligus kritik terhadap kebijakan AS ini disampaikan Beatrice Fihn, pemimpin Kampanye Internasional untuk Penghapusan Senjata Nuklir (ICAN). Menurutnya, tindakan Washington dan Moskow yang sama-sama memodernisasi persenjataan nuklirnya sama bahanya dengan ancaman nuklir Korut.

"Kebijakan nuklir terbaru dari Amerika Serikat dan Rusia yang meningkatkan persenjataan dan menciptakan jenis baru senjata nuklir yang lebih berguna, ini adalah perubahan yang sangat berbahaya," katanya kepada wartawan di Jenewa pada hari Kamis.

"Saya pikir mereka sama berbahayanya dengan ancaman nuklir Korea Utara," katanya lagi, seperti dikutip AFP, Jumat (20/4/2018).

Lima dari sembilan negara bersenjata nuklir dunia—Inggris, China, Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat—adalah pihak yang meneken Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Negara-negara itu akan menjadi subjek dari tinjauan awal kelompok tersebut di Jenewa pada hari Minggu nanti.

Menurut Fihn, AS dan Rusia jelas tidak menghormati komitmen mereka di bawah perjanjian itu. Alasannya, semuanya terlibat dalam memodernisasi persenjataan dan membuat senjata nuklir menjadi bagian yang lebih sentral dari strategi pertahanan mereka.

Washington, misalnya, baru-baru ini memutuskan untuk meningkatkan persenjataan senjata nuklirnya dan untuk melengkapi bom "strategis" besar dengan senjata "taktis" yang lebih kecil, dalam sebuah langkah yang menurut Fihn akan membuatnya lebih mudah digunakan.

Dia juga mengecam retorika ancaman yang dibuat Presiden AS Donald Trump dan para pemimpin negara-negara bersenjata nuklir lainnya.

"Kami sekarang melihat beberapa negara ini membuat ancaman eksplisit untuk menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh warga sipil yang tidak bersalah tanpa pandang bulu," katanya.

Meski demikian, Fihn tetap menyambut pengumuman bahwa Trump akan bertemu dengan Kim Jong-un dalam upaya mewujudkan denuklirisasi semenanjung Korea. "Saya pikir itu mendorong untuk melihat diplomasi daripada ancaman," katanya.

Namun dia mengingatkan bahwa tidak jelas jenis konsesi apa yang akan dibuat Korea Utara dalam diplomasi itu.

"Saya bertanya-tanya apa yang akan dibawa Amerika ke meja dalam negosiasi semacam ini," katanya."Akan sangat sulit untuk meyakinkan Pyongyang agar meninggalkan program senjata nuklirnya ketika Washington dan yang lainnya terus meningkatkan persenjataan mereka."

Dia juga mengkritik ancaman Trump untuk menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran."Ini bisa mengirim pesan yang sangat mengkhawatirkan ke negara seperti Korea Utara," ujarnya. 

"Mengapa Anda membuat kesepakatan dengan negara seperti Amerika Serikat yang tampaknya tidak tertarik untuk mencari solusi yang berfungsi untuk dua pihak?," tanya Fihn.

ICAN memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2017 atas upayanya menegosiasikan sebuah perjanjian yang melarang senjata nuklir.

Pada hari Kamis, Fihn menuduh negara-negara senjata nuklir menggunakan ancaman yang sangat serius untuk menekan beberapa negara untuk tidak meratifikasi perjanjian itu, termasuk mengancam akan membatalkan bantuan.

Perjanjian yang telah ditandatangani oleh 58 negara itu telah diratifikasi oleh tujuh negara. Setidaknya butuh 50 ratifikasi lagi sebelum dapat diberlakukan.





Credit  sindonews.com