Tampilkan postingan dengan label Amnesty International (AI). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amnesty International (AI). Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Maret 2019

PLO kutuk hukuman mati kilat Israel atas orang Palestina


PLO kutuk hukuman mati kilat Israel atas orang Palestina

Anggota Komite Pelaksana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Hanan Ashrawi (Anadolu)





Ramallah (CB) - Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada Rabu mengutuk apa yang digambarkannya sebagai "penghukuman mati kilat oleh Israel atas orang Palestina" setelah pembunuhan tiga pemuda Palestina terjadi dalam satu malam di Tepi Barat Sungai Jordan.

Hanan Ashrawi, anggota Komite Pelaksana PLO, mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa pembunuhan "tanpa pengadilan pidana" oleh Israel atas tiga pemuda Palestina dan penghukuman kilat "tidak sah berdasarkan hukum internasional dan mengungkapkan keinginan jahat di pihak pasukan Israel, yang terus bertindak dengan kekebalan dan tanpa kepedulian pada hak dasar rakyat Palestina untuk hidup".

Ashrawi mengatakan perbuatan pelanggaran pidana itu "dilakukan dalam konteks dominasi yang tak pernah terjadi sebelumnya mengenai pidato kebencian dan hasutan bagi kekerasan serta secara sengaja merendahkan martabat manusia rakyat Palestina pada tingkat tertinggi dalam sistem politik Israel".

"Proses pemilihan umum di Israel dipenuhi dengan pelecehan terhadap nyawa orang Palestina, termasuk seruan terbuka bagi pembunuhan dan penggunaan kekuatan militer untuk memusnahkan kebanyakan orang Palestina. Perbuatan itu meliputi video yang diedarkan belum lama ini oleh seorang anggota partai Likud di Israel yang menggambarkan ia menghukum mati satu orang Palestina anggota Parlemen Israel untuk memperlihatkan mandatnya sebagai seorang anggota Parlemen," kata Ashrawi.

Wanita pejabat Palestina tersebut menambahkan, "Perbuatan tercela arus utama kekerasan rasis ini sangat disayangkan ditanggapi dengan hadiah politik oleh orang yang sependapat di seluruh dunia, yang tindakan mereka berubah menjadi keterlibatan dalam mengukuhkan budaya kebencian ini."

Pejabat PLO itu juga mengecam pembukaan apa yang dinamakan Kantor Perdagangan Hongaria untuk Israel di Al-Quds (Jerusalem), yang ia katakan merupakan pandangan pemimpin Palestina mengenai kasus tersebut.

"Itu adalah tindakan yang memalukan dan membangkang terhadap hukum internasional, termasuk resolusi terkait Dewan Keamanan, dan menjauh dari kebijakan Uni Eropa. Pemerintah Hongaria merendahkan Piagam PBB dan bersekutu dengan timpalannya yang secara terbuka rasis, Israel, dan dimaksudkan untuk menyulut konflik dan tidak memberi rakyat wilayah ini prospek masa depan yang damai," kata Ashrawi.

"Pada saat masyarakat di seluruh dunia berkabung atas hilangnya nyawa orang yang dicintai yang dibunuh dengan darah dingin oleh ekstremis rasis, semua negara yang bertanggung jawab memiliki kewajiban untuk menghadapi dan menolak mereka yang bergabung dengan kebencian serta mengarusutamakan praduga dalam setiap bentuk. Uni Eropa memiliki kewajiban khusus untuk mengutuk Israel dan menolak kejahatan Israel ini serta pidato kebencian dan menjelaskan posisinya mengenai perubahan kebijakan Hongaria yang tak bisa dipercaya ," katanya.





Credit  antaranews.com



Jumat, 08 Maret 2019

Aparat Irak dan Kurdi Dilaporkan Siksa Anak yang Dituduh ISIS


Aparat Irak dan Kurdi Dilaporkan Siksa Anak yang Dituduh ISIS
Ilustrasi. (Foto: REUTERS/Rodi Said)



Jakarta, CB -- Aparat keamanan Irak dan Kurdi dilaporkan menyiksa sejumlah anak-anak yang ditahan karena dituduh terlibat dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut lembaga pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch, mereka juga mengadili para bocah hanya berbekal bukti-bukti yang tidak memadai.

"Penyaringan, penyelidikan, dan penuntutan terhadap anak-anak sebagai tersangka ISIS oleh otoritas Irak dan Kurdi sangat cacat, seringkali mengarah pada penahanan sewenang-wenang dan pengadilan yang tidak adil," demikian isi laporan Human Rights Watch, seperti dilansir AFP, Rabu (6/3).

Laporan Human Rights Watch itu didasarkan pada hasil wawancara dengan 29 anak-anak Irak yang saat ini atau pernah ditahan oleh pasukan Kurdi. Mereka juga mewawancarai kerabat para bocah, penjaga penjara, dan petugas pengadilan.


Irak mengumumkan telah mengalahkan ISIS pada akhir 2017, tetapi mereka terus mengadili pria, wanita, anak-anak, dan termasuk orang asing, yang dituduh menjadi anggota ISIS.

Banyak anak laki-laki yang ditangkap di kamp atau pos pemeriksaan berdasarkan bukti yang lemah.

Mereka dipukuli dan disetrum ketika diinterogasi, serta tidak diberi akses kepada kerabat atau kuasa hukumnya. Mereka dipaksa untuk mengaku sebagai anggota ISIS, meskipun mereka tidak pernah bergabung dengan ISIS.

"Mereka memukuli saya di seluruh tubuh saya dengan pipa plastik. Pertama mereka meminta saya harus mengakui bergabung dengan ISIS, jadi saya setuju," kata seorang anak berusia 14 tahun yang ditahan oleh aparat Kurdi.

ISIS memang banyak merekrut dan mendoktrin anak-anak. Sebagian dari anak-anak yang diwawacarai oleh Human Rights Watch mengaku bahwa mereka tidak pernah berselisih dengan kelompok tersebut.

Mereka diadili tanpa pengacara dalam sidang yang hanya berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit dan menggunakan bahasa Kurdi. Kebanyakan dari mereka adalah orang Arab dan tidak memahaminya.

Hukuman yang diterima anak-anak itu dari aparat Kurdi berkisar antara enam dan sembilan bulan penjara.

Sementara itu, pengadilan federal Irak menghukum hingga 15 tahun penjara. Seringkali pemerintah Irak menempatkan mereka di penjara yang penuh sesak bersama orang dewasa yang melanggar standar dunia.

"Setiap hari adalah siksaan. Kami dipukuli setiap hari, kita semua," kata seorang perempuan berusia 17 tahun yang berada di penjara federal selama sembilan bulan.

Bahkan setelah mereka dibebaskan, anak-anak lelaki itu memilih untuk tidak pulang ke rumah karena takut ditangkap kembali.

Human Rights Watch memperkirakan pada akhir 2018 aparat Irak dan Kurdi telah menahan sekitar 1.500 anak-anak karena diduga terlibat ISIS.

Human Rights Watch mendesak pemerintah Irak dan Kurdi berhenti menangkap anak-anak yang dituduh terlibat ISIS, dan meminta semuanya dibebaskan kecuali mereka dituduh melakukan kejahatan kekerasan.

"Irak dan perlakuan keras Kurdi terhadap anak-anak lebih mirip pembalasan buta dibanding keadilan atas kejahatan ISIS," kata Direktur Hak Asasi Anak HRW, Jo Becker.

"Anak-anak yang terlibat dalam konflik bersenjata berhak mendapatkan rehabilitasi dan reintegrasi, bukan penyiksaan dan penjara," kata Jo Becker.





Credit  cnnindonesia.com



Selasa, 13 November 2018

Amnesti Internasional Cabut Penghargaan HAM Aung San Suu Kyi


Amnesti Internasional Cabut Penghargaan HAM Aung San Suu Kyi
Gelar HAM Aung San Suu Kyi kembali dicabut. (REUTERS/Soe Zeya Tun)


Jakarta, CB -- Amnesti Internasional mencabut gelar duta hati murani terhadap pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Gelar itu dicabut karena Suu Kyi dianggap telah membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang dilakukan rezim militer Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya.

Organisasi hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di London itu menegaskan gelar atas penghargaan HAM tertinggi tersebut diberikan pada tahun 2009 saat Suu Kyi masih menjadi tahanan rumah rezim militer di negaranya.

"Hari ini kami cemas bahwa anda (Suu Kyi) tidak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan pembela HAM," ujar Kepala Amnesti Ineternasional Kumi Naidoo seperti yang dirilis AFP, Senin (12/11).



Amnesti Internasional mengaku telah mengirimkan surat kepada Suu Kyi, Minggu (11/11) kemarin. Namun, Suu Kyi tak juga merespons hal itu kepada publik.

Sebelumnya, US Holocaust Memorial Museum mengumumkan telah mencabut Wiesel Award yang mereka berikan kepada Suu Kyi tahun 2012 lalu. Suu Kyi juga sudah kehilangan penghargaan Freedom of the City of Oxford, yang diberikan kepadanya 1997 lalu atas "oposisi terhadap opresi dan kepemimpinan militer di Burma."

Suu Kyi menempuh pendidikan di St Hugh's College di Oxford University. Namun, fotonya di kampus itu pun sudah dicabut.


Kendati demikian, panitia Nobel Perdamaian Norwegia memastikan penghargaan yang pernah diberikan kepada Suu Kyi tidak akan dicabut, meski tim pencari fakta independen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut militer negeri itu melakukan pembantaian terhadap etnis Rohingya.

Penyelidik PBB menyatakan tentara Myanmar melakukan pembantaian dan pemerkosaan beramai-ramai, dengan tujuan pemusnahan etnis. Tim pencari fakta PBB juga menyebut bahwa panglima tertinggi serta lima jenderal negara itu seharusnya dituntut atas kejahatan berat di bawah hukum internasional.



Credit  cnnindonesia.com



Rabu, 24 Oktober 2018

Amnesty Sambut Baik Sanksi ke Pejabat Militer Myanmar



Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Lima Jenderal itu dituding bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Rakhine.



CB, CANBERRA -- Koordinator Kampanye Hak Asasi Manusia (HAM) di Amnesty International Australia Diana Sayed menyambut keputusan Pemerintah Australia menjatuhkan sanksi ekonomi dan larangan perjalanan terhadap lima pejabat militer Myanmar pada Selasa (23/10). Kelima pejabat militer Myanmar itu dinyatakan terlibat dalam pembersihan etnis Rohingya di negara bagian Rakhine.

Sayed menilai, langkah Australia menjatuhkan sanksi kepada lima pejabat militer Myanmar sangat tepat dilakukan. “Pemerintah Australia hari ini menanggapi penelitian dan kampanye Amnesty International yang menyerukan agar dikenakan sanksi terhadap para pelaku utama kekerasan terhadap orang-orang Rohingya,” katanya, dikutip dari laman resmi Amnesty International.

Kelima pejabat militer Myanmar yang baru saja dikenakan sanksi oleh Australia, kata Sayed, masuk dalam daftar 13 tokoh yang terlibat dalam kekerasan terhadap Rohingya. Daftar itu dicantumkan dalam laporan Amnesty International yang dirilis pada 27 Juni lalu. Laporan itu berjudul ’We Will Destroy Everything’: Military Responsibility for Crimes against Humanity in Rakhine State, Myanmar”.

Ia mengatakan, kekerasan, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembakaran permukiman Rohingya tidak dilakukan secara tiba-tiba atau tanpa perencanaan. “Ada banyak bukti bahwa itu adalah bagian dari serangan yang sangat teratur dan sistematis terhadap penduduk Rohingya,” ujar Sayed.



“Pemerintah (Australia) sekarang harus memperluas jaring sanksi untuk memasukkan ke-13 yang disebutkan dalam laporan itu dan mendorong sanksi multilateral yang komprehensif di forum seperti Dewan Keamanan PBB dan KTT ASEAN November mendatang,” kata Sayed.
Ia berpendapat, memang dibutuhkan upaya internasional untuk memberlakukan sanksi ekonomi terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap Rohingya. Namun hanya dengan cara itu keadilan dapat diberikan kepada orang-orang Rohingya.


photo

Pembersihan Etnis Rohingya





Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne telah mengumumkan penerapan sanksi ekonomi dan larangan perjalanan terhadap lima pejabat militer Myanmar pada Selasa. “Saya sekarang telah memberlakukan sanksi keuangan yang ditargetkan dan larangan perjalanan terhadap lima perwira militer Myanmar yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh unit di bawah komando mereka,” katanya.

Kelima perwira militer itu adalah Aung Aung, Than Oo, Khin Maung Soe, Maung Maung Soe, dan Aung Kyaw Zaw. Dua perwira terakhir, yakni Maung Maung Soe dan Aung Kyaw Zaw dilaporkan telah tidak menjadi anggota militer Myanmar.

Maung Maung Soe dipecat dari jabatannya sebagai komandan Biro Operasi Khsusus pada Juni lalu, tepatnya setelah Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepadanya. Kemudian Aung Kyaw Zaw, yakni kepala Komando Barat, diizinkan mengundurkan diri pada Mei.

Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan khusus bulan ini guna membahas laporan terkait dugaan genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Pertemuan itu diminta oleh sembilan negara anggota Dewan Keamanan, antara lain Prancis, Amerika Serikat (AS), dan Inggris.




Credit  republika.co.id




Senin, 24 September 2018

China Didesak Jelaskan Penahanan 1 Juta Minoritas Muslim



China Didesak Jelaskan Penahanan 1 Juta Minoritas Muslim
Amnesty Internasional mendesak China menjelaskan mengenai dugaan penahanan satu juta orang minoritas Muslim di wilayah otonomi Xinjiang. (Reuters/Thomas Peter)


Jakarta, CB -- Amnesty Internasional mendesak China menjelaskan mengenai dugaan penahanan satu juta orang minoritas Muslim di wilayah otonomi Xinjiang.

"Ratusan ribu keluarga hancur akibat tindakan keras ini," kata Nicholas Beqelin, Direktur Asia Timur Amnesty Internasional, dalam sebuah pernyataan yang dikutip AFP, Senin (24/9).

"Mereka putus asa untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai dan sudah saatnya pihak berwenang China memberikan mereka jawaban."


Beijing dilaporkan meningkatkan pembatasan terhadap minoritas Muslim untuk memerangi kelompok ekstremis Islam dan separatis di provinsi tersebut.



Namun, para pengamat mengatakan dorongan itu berisiko menimbulkan kebencian terhadap Beijing dan justru semakin menyulut kelompok separatis.

Dalam sebuah laporan berisi kesaksian dari orang-orang yang ditahan di berbagai kamp penampungan, Amnesty menyatakan bahwa Beijing telah meluncurkan kampanye yang "mengintensifkan pengintaian yang menganggu, indoktrinasi politik, dan asimilasi budaya secara paksa."

Orang-orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya dihukum karena melanggar peraturan yang melarang memelihara jenggot, mengenakan cadar, dan memiliki Al-Quran yang tidak sah.

Panel Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan lalu melaporkan bahwa sebanyak satu juta orang Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp pendidikan.

China Didesak Jelaskan Penahanan 1 Juta Minoritas Muslim
China dilaporkan menahan lebih dari satu juta orang dari kelompok minoritas Muslim di Xinjiang. (Reuters/Thomas Peter)
Kebanyakan dari mereka ditahan karena melakukan pelanggaran seperti melakukan kontak dengan anggota keluarga di luar negeri dan mengucapkan selamat liburan Islam di media sosial.

Beijing membantah berbagai laporan mengenai kamp tersebut, tetapi banyak bukti-bukti dalam bentuk dokumen pemerintah dan berbagai kesaksian orang-orang yang melarikan diri.

Laporan ini juga mengindikasikan bahwa pihak berwenang China menahan banyak orang di kamp-kamp tanpa proses hukum yang jelas untuk indoktrinasi politik dan budaya.

Berdasarkan dari laporan Amnesty, beberapa mantan tahanan mengaku diikat dengan rantai, disiksa, dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu politik dan belajar mengenai Partai Komunis.



Amnesty pun menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk meminta pertanggungjawaban kasus ini di Xinjiang.

Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengecam pelanggaran berat kepada kaum Muslim Uighur yang ditahan di kamp-kamp pendidikan.

Para pejabat China sendiri menyerukan agar praktik keagamaan sejalan dengan nilai-nilai dan budaya tradisional China, seruang yang memicu kekhawatiran pegiat HAM.


Awal bulan ini, beberapa draf regulasi menunjukkan China mempertimbangkan pengetatan konten keagamaan di internet, seperti gambar orang sedang berdoa.

Pengawasan ketat ini dilakukan untuk membendung kelompok ekstremis. Pihak berwenang juga telah menghapus simbol-simbol Islam dari tempat umum di berbagai daerah dengan populasi Muslim yang signifikan.

Orang-orang Kristen juga menjadi target kekerasan ini, seperti sebuah gereja "bawah tanah" di Beijing yang ditutup oleh pihak berwenang pada awal bulan ini. Salib gereja-gereja di provinsi Henan juga dibongkar dan umat Kristen menjadi target kekerasan.





Credit  cnnindonesia.com




Rabu, 05 September 2018

PBB katakan Putin dan Erdogan harus hindarkan banjir darah di Idlib


PBB katakan Putin dan Erdogan harus hindarkan banjir darah di Idlib

Pengungsi membawa ember berisi air saat mereka berjalan di cuaca dingin di kamp Jerjnaz, di provinsi Idlib, Suriah, Selasa (5/1). (REUTERS/Khalil Ashawi )




Jenewa, (CB) - Suriah bisa terhindar dari perang berdarahnya jika para persiden dari Rusia dan Turki berbicara satu sama lain dengan mengenai situasi di Idlib, wilayah yang dikuasai pemberontak, kata utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa Staffan de Mistura pada Selasa.

De Mistura mengatakan kepada wartawan bahwa pembicaraan yang sedang berlangsung antara Rusia dan Turki memegang kunci guna mencegah serangan atas kawasan tersebut, tetapi enam serangan udara yang dilaporkan pada Selasa dapat menimbulkan pembicaraan Ankara tak berlangsung dengan baik.

Laporan-laporan media mengatakan pemerintah Suriah mungkin menunggu hingga 10 September sebelum melancarkan serangan, membuat pertemuan puncak di Teheran pada Jumat "krusial".

Tetapi ia menyerukan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Tayyip Erdogan untuk berbicara lewat telepon sebelum itu, dengan mengatakan "waktu adalah esensi".

Sementara itu Jerman telah mendesak masyarakat internasional agar bertindak guna mencegah bencana kemanusiaan di Provinsi Idlib, Suriah, di tengah laporan mengenai potensi serangan militer pasukan pemerintah.

"Kami akan melakukan apa saja untuk mencegah bencana kemanusiaan di Idlib," kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas dalam taklimat di Berlin pada Senin (3/9).

"Ini akan menjadi salah satu topik selama kunjungan saya ke Turki pada Rabu dan Kamis," tambahnya.

Idlib, yang berada di dekat perbatasan Turki, merupakan tempat tinggal lebih dari tiga juta orang Suriah -- banyak di antara mereka menyelamatkan diri dari kota lain yang diserang pasukan Pemerintah Presiden Bashar al-Assad.

"... Kondisinya sangat serius," kata Maas, sebagaimana dikutip Reuters.

Ia juga memperingatkan bahwa peningkatan aksi militer akan sangat merusak upaya yang sedang berlangsung bagi penyelesaian politik buat perang saudara tujuh tahun di Suriah.


Kejar militan keluar Idlib

Dari Moskow, Reuters melaporkan Menlu Rusia Sergei Lavrov mengatakan Pemerintah Suriah berhak mengejar para militan keluar dari kantung yang dikuasai pemberontak di Idlib.

Menurut dia seperti dikutip kantor berita Interfax, Jumat (31/8), pembicaraan mengenai pembuatan koridor kemanusiaan di sana juga sedang berjalan.

Provinsi Idlib di Suriah dan kawasan-kawasan di sekitarnya merupakan kantung utama terakhir yang dikuasai petempur yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad, sekutu dekat Rusia.

Satu sumber mengatakan kepada Reuters, Bashar sedang menyiapkan ofensif untuk merebut kembali provinsi tersebut.

Pasukan Pemerintah Suriah "mempunyai hak penuh untuk melindungi kedaulatannya dan mengusir, menghancurkan ancaman teroris atas wilayahnya", kata Lavrov, seperti dilansir Interfax.

Ketegangan antara Rusia dan Barat telah meningkat terkait Idlib, dan Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan pada Kamis (30/8) bahwa Rusia akan mulai melakukan latihan utama angkatan laut di Laut Tengah pada Sabtu di lepas pantai Suriah.

Lavrov juga mengatakan bahwa komunikasi antara Rusia dan Amerika Serikat mengenai Suriah berlangsung seketika.

PBB telah menyerukan Rusia, Iran dan Turki untuk menangguhkan pertempuran yang dapat berdampak pada jutaan warga sipil, dengan menghimbau koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil.

Putin akan menghadiri konferensi tingkat tinggi di Teheran pada 7 September dengan para pemimpn dari Turki dan Iran, kata jubirnya.





Credit  antaranews.com




Jumat, 27 Juli 2018

Assad: White Helmets Adalah Teroris, Pilih Menyerah atau Mati!



Assad: White Helmets Adalah Teroris, Pilih Menyerah atau Mati!
Presiden Republik Arab Suriah Bashar al-Assad. Foto/REUTERS

DAMASKUS - Presiden Republik Arab Suriah Bashar al-Assad mengatakan kelompok White Helmets (Helm Putih) adalah teroris yang beroperasi di negaranya. Dia memberikan pilihan bagi kelompok itu untuk menyerah dan minta ampunan atau mati.

"Nasib White Helmets akan sama dengan teroris lainnya. Mereka memiliki dua pilihan; meletakkan senjata mereka dan memanfaatkan amnesti yang kami tawarkan selama empat atau lima tahun terakhir, atau dibunuh seperti teroris lainnya," kata Assad kepada wartawan.

Baginya, Helm Putih yang mengklaim sebagai kelompok sukarelawan merupakan organisasi ilegal yang beroperasi di Suriah.

"Ini adalah topeng, topeng untuk Al-Nusra (afiliasi Al-Qaeda)," katanya. "Anda memiliki video dan foto anggota grup ini yang memegang pedang dan merayakan kematian tentara Suriah," ujarnya.

"Bukti apa lagi yang Anda butuhkan bahwa mereka bukan organisasi kemanusiaan, tetapi topeng yang digunakan oleh al-Qaeda?," imbuh Assad.

Kelompok Helm Putih beroperasi hanya di wilayah yang kendali kelompok militan anti-pemerintah Suriah. Mereka mendapat dukungan dari Amerika Serikat, Inggris dan beberapa tetangga Suriah sejak konflik pecah pada tahun 2011.

Kelompok itu menjadi saksi kunci atas klaim kekejaman rezim Suriah, termasuk tuduhan penggunaan senjata kimia. Menurut Damaskus, tuduhan itu hanya dalih untuk intervensi kekuatan Barat.

Pekan lalu, Israel mengevakuasi sejumlah anggota White Helmets dari wilayah yang dikuasai pemberontak di wilayah Deraa. Militer Israel mengatakan, evakuasi dilakukan atas permintaan AS, Kanada dan beberapa negara Eropa.

Assad mengatakan, setelah menghilangkan kantong pemberontak dan ISIS di Deraa, tentara Suriah sedang mengarahkan perhatiannya pada kubu pemberontak di Idlib.

"Tujuan kami sekarang adalah Idlib, tetapi tidak hanya Idlib," katanya, dikutip dari Russia Today, Jumat (27/7/2018). "Ada wilayah di bagian timur Suriah yang dikendalikan oleh berbagai kelompok. Sedikit yang dikendalikan oleh ISIS, dan beberapa wilayah lainnya oleh Front Al-Nusra dan formasi militan lainnya." 



Credit  sindonews.com






Selasa, 24 Juli 2018

Amnesty International: Dipimpin Duterte Filipina Lebih Berbahaya


Warga melihat anggota Philippine Drug Enforcement Agency (PDEA) sata akan memeriksa sebuah rumah yang di duga menyimpan narkoba dalam operasi anti-narkoba di kota Quezon, metro Manila, Filipina 16 Maret 2017. REUTERS
Warga melihat anggota Philippine Drug Enforcement Agency (PDEA) sata akan memeriksa sebuah rumah yang di duga menyimpan narkoba dalam operasi anti-narkoba di kota Quezon, metro Manila, Filipina 16 Maret 2017. REUTERS

CB, Jakarta - Kepemimpinan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, telah mengalami kemunduran dalam bidang penegakan HAM sehingga menempatkan perlindungan HAM di Filipina pada posisi yang lebih berbahaya sebelum Duterte memimpin. Pernyataan itu diterbitkan oleh lembaga Amnesty International untuk memperingati dua tahun kepemimpinan Presiden Duterte di Filipina terkait kebijakan tembak mati terhadap pengedar narkoba.  
“Duterte menjadi presiden dengan citra sebagai orang kuat dan mengusung janji akan bersikap tegas terhadap hukum dan perintah. Kenyataannya dalam dua tahun kepemimpinannya, kebijakan-kebijakannya adalah sebuah bencana sehingga menempatkan negara dalam posisi yang lebih berbahaya, khususnya masyarakat miskin Filipina,” kata Rachel Chhoa Howard, Peneliti di Amnesty Internasional.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte. REUTERS/Handout
Dikutip dari situs amnesty.org pada Selasa, 24 Juli 2018, Howard mengatakan bukannya mengatasi masalah-masalah sosial yang pelik, kebijakan perang terhadap narkoba Duterte telah menyebabkan kerusakan dan penderitaan yang tak terkatakan. Kebijakan-kebijakan Presiden Duterte, dapat dilihat dari tewasnya ribuan orang tanpa proses hukum menyusul tingginya pelanggaran hukum dengan eksekusi yang dilakukan di rumah-rumah dan jalan-jalan hampir setiap hari.

“Menyusul masih berlanjutnya tindak eksekusi mati dan tidak adanya tanda-tanda langkah pencegahan di tingkat nasional, maka ini waktunya bagi komunitas internasional termasuk lembaga HAM PBB untuk membuat mandat investigasi terhadap pendekatan yang mengerikan dalam mengatasi masalah pemberantasan terhadap narkoba,” kata Howard.Dalam kritiknya Howard mengatakan kebijakan perang terhadap narkoba Presiden Duterte, mematikan. Ribuan orang tewas di Filipina karena dampak kebijakan-kebijakan yang kejam yang umumnya menyerang kalangan masyarakat miskin. Klaim Duterte untuk menjadi pembela masyarakatnya telah berbalik menjadi sebuah penghinaan terhadap para keluarga korban, khususnya setelah berjanji akan melanjutkan tindakan ‘pembunuhannya’.




Credit  tempo.co





Senin, 23 Juli 2018

Qatar Bakal Borong Sistem Senjata Rusia, untuk Apa?



Sistem prtahanan udara S-400 Triumph menggunakan radar yang dapat mendeteksi sasaran sejauh 600 km dan dilengkapi empat macam rudal yang berbeda jangkauannya, yaitu rudal 40N6 dengan jangkauan 400 km, rudal 48N6 dengan jangkauan 250 km, rudal 9M96E dan 9M96E2 dengan jangkauan 40 km dan 120 km. Vitaliy Nevar/TASS
Sistem prtahanan udara S-400 Triumph menggunakan radar yang dapat mendeteksi sasaran sejauh 600 km dan dilengkapi empat macam rudal yang berbeda jangkauannya, yaitu rudal 40N6 dengan jangkauan 400 km, rudal 48N6 dengan jangkauan 250 km, rudal 9M96E dan 9M96E2 dengan jangkauan 40 km dan 120 km. Vitaliy Nevar/TASS

CB, Moskow – Pemerintah Rusia dan Qatar sedang mendiskusikan rencana pembelian sistem anti-serangan udara S-400 kepada Doha.

Duta besar Rusia untuk Qatar, Nurmakhmad Kholov, membenarkan adanya rencana pembelian sejumlah sistem senjata Rusia oleh negara teluk itu. Ini seperti senjata kecil berupa senapan serbu Kalashnikov dan senjata anti-tank.
“Ada pembicaraan soal pembelian senjata sistem pertahanan udara S-400 dan sebagainya namun belum mencapai kesimpulan kongkrit,” kata Kholov seperti dilansir Reuters mengutip media TASS, Sabtu, 21 Juli 2018.
Rencana Qatar untuk membeli sejumlah sistem pertahanan buatan Rusia juga dilansir media Russia Today. Menurut media ini, Qatar juga menjajaki pembelian sistem peluncur granat, dan rudal anti-tank Kornet.
Pada awal tahun, Dubes Qatar untuk Rusia, Fahad bin Mohammed Al-Attiyah, mengatakan proses negosiasi pembelian senjata S-400, yang dikenal cukup akurat untuk mengejar pesawat tempur musuh, sedang berada pada tahapan maju.

Sistem rudal Kornet Anti-Tank, TOS-1 Peluncur roket, peluncur granat IGS-30 dan senapan mesin AK-103 Kalashnikov.
Qatar, menurut Fahad, menjalin kerja sama secara lebih luas dengan Rusia termasuk pelatihan pasukan dan membangun koneksi dengan jaringan intelijen.
Rencana pembelian S-400 ini mendapat tanggapan dari Arab Saudi. “Arab Saudi akan siap untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghancurkan sistem pertahanan ini termasuk lewat aksi militer,” kata Raja Salman dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Prancis, Emmanuel Macron, seperti dilansir media Le Monde beberapa waktu lalu.

Saudi dan Qatar sedang terlibat pertikaian politik terkait dukungan Doha terhadap Iran. Saudi dan Iran sedang berperang di Yaman dengan masing-masing mendukung pasukan Houthi dan pemerintah.
Menanggapi ini, kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan Riyadh tidak dalam posisi untuk mendikte Doha. “Pembelian perlengkapan militer merupakan keputusan terkait kedaulatan yang tidak terkait negara lain,” kata Mohammed bin Abdulrahman al-Thani seperti dilansir Al Jazeera.
Sistem rudal canggih S-400, Menurut Russia Today, dijuluki ‘Growler’ oleh NATO. Sistem rudal anti-serangan udara ini mampu melacak dan mengejar serangan pesawat jet tempur dan rudal secara bersamaan hingga jarak 250 kilometer untuk target yang bergerak lambat dan 60 km untuk rudal balistik yang memiliki kecepatan hingga 4800 meter per detik. Sistem ini merupakan upgrade dari S-300. Namun, Rusia juga memiliki sistem S-500 yang tidak dijual ke negara lain.




Credit  tempo.co



Rabu, 16 Mei 2018

Amnesty: Pembantaian di Gaza Adalah Jelas Kejahatan Perang


Amnesty: Pembantaian di Gaza Adalah Jelas Kejahatan Perang
Amnesty menuturkan, serangan yang dilakukan tentara Israel terhadap demonstran Palestina adalah pembunuhan yang disengaja, yang merupakan kejahatan perang. Foto/Reuters


LONDON - Amnesty International menuturkan, serangan yang dilakukan tentara Israel terhadap demonstran Palestina adalah pembunuhan yang disengaja, yang merupakan kejahatan perang.

“Ini adalah contoh mengerikan lain dari tindakan militer Israel yang menggunakan kekuatan berlebihan dan amunisi hidup dengan cara yang sangat menyedihkan. Ini adalah pelanggaran terhadap standar internasional, dalam beberapa kasus melakukan apa yang tampaknya merupakan pembunuhan yang disengaja yang merupakan kejahatan perang," kata Direktur Penelitian dan Advokasi untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty, Philip Luther.

Luther, seperti dilansir Anadolu Agency pada Selasa (15/4) kemudian menyatakan bahwa pemerintah Israel harus segera memerintahkan tentara mereka untuk dapat menahan diri, agar menghidari jatuhnya lebih banyak korban.

"Rekaman mengenai situasi Gaza sangat mengganggu, dan karena kekerasan terus berputar di luar kendali, pihak berwenang Israel harus segera mengendalikan militer untuk mencegah korban jiwa dan luka serius," ucapnya.

"Hanya bulan lalu, Amnesty International menyerukan kepada komunitas internasional untuk menghentikan pengiriman senjata dan peralatan militer ke Israel. Meningkatnya jumlah korban tewas dan cedera saat ini berfungsi untuk menyoroti kebutuhan mendesak akan embargo senjata," sambungnya.

Seperti diketahui, pejabat kesehatan Palestina mengatakan pasukan Israel membunuh 58 warga Palestina di pagar perbatasan dengan Gaza. Jumlah ini dua kali lipat jumlah warga Palestina yang tewas selama enam minggu aksi demonstrasi, "Kembali ke Tanah Kelahiran," dan terjadi bertepatan dengan pembukaan Kedutaan Besar AS di Yerusalem.

Menurut kementerian kesehatan Palestina di Gaza lebih dari 2.700 orang terluka, termasuk 1.359 yang terluka akibat penggunaan amunisi hidup.  "Korban tewas termasuk enam anak di bawah usia 18 tahun, di antaranya seorang gadis berusia 15 tahun, dan seorang dokter," kata kementerian itu. 




Credit  sindonews.com




Selasa, 13 Maret 2018

AI: Militer Myanmar Rampas Tanah Rohingnya, Bangun Pangkalan Militer


AI: Militer Myanmar Rampas Tanah Rohingnya, Bangun Pangkalan Militer
Amnesty Internasional (AI) menuturkan negara bagian Rakhine di Myanmar dengan sangat cepat diubah menjadi wilayah militer oleh otoritas setempat. Foto/Istimewa


JAKARTA - Amnesty Internasional (AI) menuturkan negara bagian Rakhine di Myanmar dengan sangat cepat diubah menjadi wilayah militer oleh otoritas setempat. Militer, menurut AI membangun basis-basis pasukan keamanan dan membuldozer lahan di perkampungan milik etnis Muslim Rohingya yang sengaja dibakar hingga rata dengan tanah beberapa bulan lalu.

Lewat keterangan saksi mata dan analisis citra satelit, laporan AI "Remaking Rakhine State" membeberkan secara rinci bagaimana pembangunan proyek konstruksi meningkat di wilayah perkampungan Rohingya yang telah rata dengan tanah.

Pembangunan basis militer dilakukan setelah ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari praktek pembersihan etnis yang dilakukan oleh militer tahun lalu. Jalan dan bangunan didirikan di perkampungan Rohingya membuat para pengungsi makin sulit untuk kembali ke rumah mereka lagi.

"Apa yang kami lihat di negara bagian Rakhine adalah praktek perampasan tanah oleh militer dalam skala yang sangat besar. Markas militer yang sedang dibangun justru diperuntukkan menjadi tempat tinggal bagi pasukan keamanan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap komunitas Rohingya," ungkap Tirana Hassan, Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty International.

"Hal ini membuat harapan agar pengungsi Rohingya dapat kembali secara sukarela, aman, dan bermartabat semakin jauh dari kenyataan. Tidak hanya rumah mereka yang hilang, tetapi pembangunan ini semakin memperparah diskriminasi yang mereka hadapi di Myanmar," sambungnya, dalam siaran pers yang diterima Sindones pada Senin (12/3).

AI menuturkan analisis mereka terhadap foto-foto satelit mengkonfirmasi setidaknnya terdapat tiga basis militer saat ini sedang dibangun di negara bagian Rakhine utara - dua di kota Maungdaw dan satu di kota Buthidaung. Pembangunannya mulai dijalankan sejak Januari.

Basis pasukan keamanan yang terbesar terletak di kampung Ah Lel Chaung di Buthidaung dimana saksi mata mengatakan bahwa militer secara paksa menggusur warga Rohingya dari area tertentu agar pembangunan infrastruktur bisa dilaksanakan. Banyak dari warga tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri ke Bangladesh.

Citra satelit, lanjut AI juga menunjukkan bagaimana pusat penerimaan pengungsi baru, yang dimaksudkan untuk "menyambut" kembali penduduk Rohingya dari Bangladesh - dikelilingi pagar keamanan dan terletak dekat dengan wilayah yang memiliki jumlah personil militer dan pasukan keamanan yang banyak. Sebuah pusat transit baru yang digunakan untuk menampung pengungsi dibangun di desa Rohingya di Maungdaw. Wilayah tersebut dijaga ketat oleh aparat keamanan.

"Rakhine adalah salah satu daerah termiskin di Myanmar dan investasi pembangunan sangat dibutuhkan. Tetapi, upaya semacam itu harus menguntungkan semua orang terlepas dari etnisitas mereka, tidak memperkuat sistem apartheid yang ada untuk menindas orang-orang Rohingya. Proses pembangunan kembali negara bagian Rakhine penuh kerahasiaan. Otoritas Myanmar tidak dapat melanjutkan kampanye pembersihan etnis atas nama 'pembangunan'," ucap Tirana.

"Komunitas international, dan khususnya setiap negara donor, mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa investasi atau bantuan yang mereka berikan tidak mendukung terjadinya pelanggaran HAM. Termasuk kontribusi yang memperkuat sistem diskriminatif itu serta yang memperkecil kemungkinan kembalinya pengungsi, sama dengan membantu kejahatan terhadap kemanusiaan di sana," tukasnya. 




Credit  sindonews.com









Rabu, 22 November 2017

Aktivis Tuduh Rezim Apartheid Myanmar Picu Krisis Rohingya


Aktivis Tuduh Rezim Apartheid Myanmar Picu Krisis Rohingya
Peluncuran laporan Amnesty International terbaru terkait krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang mengincar etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar, pada Selasa (21/11) di Jakarta. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)


Jakarta, CB -- Kelompok aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) Amnesty International menilai pemerintah Myanmar menerapkan sistem rasis apartheid terhadap etnis Rohingya. Perlakuan diskrimatif itu menyebabkan krisis kemanusiaan yang terus mengincar etnis minoritas, terutama muslim Rohingya selama ini.

“Kami menemukan bahwa pembatasan hak Rohingya terus meningkat sejak konflik komunal 2012 lalu di Rakhine. Penerapan hukum serta kebijakan rasial yang diskriminatif terhadap Rohingya selama ini membuat kami berkesimpulan bahwa perilaku pemerintah mengarah pada kejahatan kemanusiaan, apartheid yang memicu konflik kemanusiaan dan terus memburuk,” papar salah satu peneliti dari Amnesty Internasional soal Myanmar, Elise Tillet, dalam peluncuran laporan terbaru organisasi itu soal krisis kemanusiaan di Rakhine, di Jakarta, Selasa (21/11) .

Laporan itu dibuat berdasarkan penyelidikan Amnesty International  di Myanmar  selama dua tahun terakhir, serta  tiga bulan di wilayah Rakhine. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap dan kebijakan pemerintah Myanmar terhadap Rohingya.


Otoritas Myanmar memberlakukan kebijakan imigrasi yang ketat bagi etnis Rohingya dan membatasi ruang geraknya. Komunitas Rohingya tidak diizinkan pergi ke luar kota bahkan ke desa-desa lain di Rakhine tanpa izin aparat setempat.

Aparat juga memberlakukan jam malam bagi etnis Rohingya. Mereka hanya diperbolehkan beraktivitas di luar desa mulai pukul 6 pagi hingga 6 malam. “Di luar jam tersebut, Rohingya tidak boleh berkeliaran di luar tempat tinggal dan desa mereka. Bahkan untuk pergi ke rumah sakit di luar desa mereka pun harus mendapat izin terlebih dahulu dan mematuhi jam malam tersebut,” kata Elise.



"Banyak kaum Rohingya yang dipukuli oleh petugas di pos pemeriksaan karena dianggap tidak memiliki izin untuk berpergian. Pada Maret 2016 lalu, saya bertemu seorang bapak Rohingya di Rakhine yang sedang mencari anaknya yang ditangkap saat hendak pergi ke Yangon,” ujar Elise menambahkan.

Pembatasan berpergian ini pun, tutur Elise, juga berimbas pada pembatasan hak etnis Rohingya pada akses pendidikan dan kesehatan di Myanmar.

Elise mengatakan kebijakan diskriminatif mirip apartheid yang pernah berlaku di Afrika Selatan itu juga mengakar pada konstitusi Myanmar di mana Undang-undang Kewarganegaraan 1983 tidak memasukan etnis Rohingya sebagai salah satu etnis resmi negara anggota ASEAN itu.

Etnis Rohingya dianggap sebagai Bengali, imigran ilegal asal Bangladesh. Sejak 2016, bayi-bayi Rohingya yang baru lahir  sudah tidak mendapatkan akte kelahiran di Myanmar. Hal ini dikhawatirkan menjadi awal pencabutan hak kewarganegaraan anak-anak Rohingya ketika mereka dewasa.


Dalam kehidupan sosial dan politik, Rohingya juga sudah tidak memiliki hak memilih dalam pemilihan umum 2015 lalu. Kaum Rohingya juga dilarang berkumpul atau beroganisasi di tempat publik yang menyebabkan mereka kesulitan untuk melaksanakan ibadah bersama.

“Warga Rohingya tidak diperbolehkan berkumpul di muka publik lebih dari empat orang. Selama ini, warga Rohingya pun harus sembunyi-sembunyi untuk beribadah bersama. Jika ketahuan maka mereka akan diberi sanksi,” ujar Elise.

Amnesty International pun menyimpulkan kebijakan apartheid yang mengasingkan Rohingya selama ini menjadi pemicu persekusi yang terus menargetkan etnis minoritas tersebut di Myanmar.  Kebijakan diskriminatif itu pun dijadikan dasar oleh aparat maupun warga setempat untuk menaruh kebencian dan melakukan persekusi terhadap Rohingya.


Karena itu, Elise menekankan bahwa Amnesty International mendesak pemerintah Myanmar segera menghapuskan kebijakan diskriminatif tersebut sesegera mungkin sebagai solusi penyelesaian krisis di Rakhine.

“Kami menolak repatriasi pengungsi Rohingya di Bangladesh itu dilakukan sebelum kebijakan apartheid ini dihapus karena kami khawatir ketika mereka [Rohingya] pulang ke kampung halamannya, mereka tetap menjadi incaran persekusi aparat dan warga lokal,” kata Elise.


Credit  cnnindonesia.com


Tim Pencari Fakta PBB: Kekerasan di Rakhine Masih Berlangsung


Tim Pencari Fakta PBB: Kekerasan di Rakhine Masih Berlangsung
Marzuki Darusman, Kepala Misi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar. (CNN Indonesia/Hesti Rika)



Jakarta, CB -- Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Marzuki Darusman, melaporkan kekerasan yang mengincar etnis minoritas Myanmar terutama Rohingya masih terus terjadi di Rakhine sampai saat ini.

“Dalam dua setengah bulan terakhir, TPF turun ke lapangan untuk memonitor peristiwa yang terjadi. Saat ini, kami bisa simpulkan bahwa kekerasan masih berlangsung meski pemerintah Myanmar sudah mengumumkan bahwa kekerasan telah berakhir,” kata Marzuki dalam acara peluncuran laporan terbaru Amnesty International terkait dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar, Selasa (21/11), di Jakarta.

Marzuki mengatakan persekusi yang masih berlangsung itu terlihat dari masih adanya gelombang eksodus Rohingya yang melarikan diri ke perbatasan, terutama ke Bangladesh. Sejak akhir Agustus hingga awal November lalu, sedikitnya 600 ribu Rohingya yang datang ke Bangladesh.


Marzuki mendasari pernyataannya itu dari kesaksian para pengungsi Rohingya yang belakangan tiba di Bangladesh. Meski hingga kini timnya belum bisa masuk ke Rakhine dan mendapat penjelasan dari pemerintah Myanmar, dia menuturkan TPF berhasil mendapatkan sejumlah fakta dan bukti melalui kesaksian para pengungsi di kamp-kamp penampungan yang bisa membantu penyelidikan timnya.


Saat berada di perbatasan Bangladesh, terutama Cox’s Bazaar, timnya melihat keadaan para pengungsi sangat memprihatinkan. “Ratusan ribu orang menumpuk di tenda bambu plastik dan hidup di samping saluran air yangg tidak mengalir, berdekatan dengan sampah dan sebagainya,” kata Marzuki.

Menurut Marzuki, delombang eksodus Rohingya secara tiba-tiba dalam suatu waktu juga laporan organisasi HAM soal konflik di Rakhine menunjukkan tragedi di Rakhine bukan tidak insidental melainkan sistematis.


“Kejadian di Rakhine tidak bersifat insidental, tapi melembaga. Meski tidak dinyatakan langsung dalam kebijakan resmi, namun dalam prakteknya penindasan dan diskriminasi itu terjadi dan berdampak pada eksistensi Rohingya," kata Marzuki. "Karena itu ada dasar bahwa konflik di Rakhine merupakan pidana kemanusiaan seperti tercantum dalam Statuta Roma," kata Marzuki.

Tragedi di Rakhine State telah menelan sedikitnya 1.000 orang tewas, terutama Rohingya, sejak bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer pada 25 Agustus lalu.

Hasil penyelidikan awal timnya sejauh ini, mengindikasikan dugaan pelanggaran HAM berat di Rakhine dan Myanmar secara keseluruhan. Meski begitu, hingga kini tim Marzuki belum bisa menyimpulkan bahwa hal itu merupakan tindakan pelanggaran HAM berat di Myanmar.


“Sebab perlu diingat, kekerasan dan bentrokan komunal tidak hanya terjadi di Rakhine, tapi di sejumlah wilayah lainnya di Myanmar dan terhadap etnis minoritas lainnya. TPF, di sini harus menyelidiki seluruh kemungkinan secara komperhensif,” kata Marzuki.

Marzuki akan berusaha agar timnya dapat membujuk pemerintah Myanmar untuk memberikan penjelasan sebelum tenggat waktu mandat TPF berakhir pada September 2018.

"Walau kami sudah dapat informasi dan bukti yang cukup dari para pengungsi, TPF tetap harus mendapat penjelasan dari sisi pemerintah Myanmar terkait tragedi ini sebelum menyimpulkan penyelidikan," kata mantan pelapor khusus PBB soal HAM Korea Utara itu.



Credit  cnnindonesia.com










Rabu, 15 November 2017

Soal Rohingya, Lembaga HAM Tolak Kesimpulan Militer Myanmar


Anak laki-laki Rohingya Nabi Hussain yang menyelamatkan diri dari tentara Myanmar dengan berenang dengan jeriken.
Anak laki-laki Rohingya Nabi Hussain yang menyelamatkan diri dari tentara Myanmar dengan berenang dengan jeriken.



CB, LONDON -- Lembaga hak asasi manusia (HAM), Amnesty International, menolak hasil penyelidikan internal oleh militer Myanmar untuk menguak penyebab krisis Rohingya di Rakhine. Amnesty International mendesak agar Myanmar memberi akses kepada tim pencari fakta PBB untuk menyelidiki permasalahan tersebut.

Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik James Gomez mengatakan, banyak indikasi militer Myanmar bertanggung jawab atas krisis yang terjadi di Rakhine hingga memaksa Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

"Ada banyak bukti bahwa militer telah membunuh dan memerkosa orang-orang Rohingya serta membakar desa-desa mereka," ujarnya, Senin (13/11).

Setelah merekam banyak cerita horor (dari pengungsi Rohingya) dan menggunakan citra satelit untuk melacak kehancuran yang berkembang, Amnesty bisa mencapai satu kesimpulan bahwa serangan ini sama dengan kejahatan kemanusiaan.

Oleh sebab itu, Amnesty International menolak penyelidikan internal yang dilakukan militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Menurut Gomes, hal tersebut berpotensi mengaburkan, bahkan menghilangkan bukti keterlibatan militer dalam kekerasan di daerah-daerah terkait.

"Sekali lagi militer Myanmar mencoba menyapu pelanggaran serius terhadap Rohingya ke bawah karpet," ujarnya.

Gomez berpendapat, tak ada cara lain untuk mendapatkan data dan informasi yang independen mengenai krisis di Rakhine selain melalui penyelidikan yang independen pula. Hal ini dapat dilakukan bila Myanmar memberi akses penuh bagi utusan dan tim pencari fakta PBB ke Rakhine.

Pekan lalu, Dewan Keamanan PBB meminta agar Myanmar tak lagi mengerahkan kekuatan militer ke negara bagian Rakhine. Hal ini dimaksudkan guna memulihkan pemerintahan sipil dan menerapkan peraturan hukum dan untuk segera melakukan tindakan serta komitmen mereka menghormati hak asasi manusia.

Selain itu, Dewan Keamanan PBB meminta Myanmar untuk bersedia bekerja sama dengan semua badan, mekanisme, serta instrumen PBB yang relevan. Permintaan ini berkaitan dengan penolakan Myanmar untuk menerima utusan PBB yang hendak menyelidiki dugaan pelanggaran HAM oleh aparat militernya terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.

Sejak kekerasan di Rakhine terjadi pada Agustus lalu, lebih dari 600 ribu Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Hingga saat ini, mereka hanya mengandalkan bantuan kemanusiaan dari dunia internasional untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebelumnya, militer Myanmar merilis hasil penyelidikan internal. Militer Myanmar membebaskan diri dari segala tuduhan menyangkut krisis Rohingya. Dalam sebuah pernyataan yang diposting di akun Faceboo dan dikutip //BBC//, militer mengaku telah mewawancarai ribuan penduduk desa untuk mendukung bantahannya.

Menurut militer Myanmar, penduduk desa sepakat bahwa pasukan keamanan tidak menembak pada penduduk desa yang tidak bersalah, tidak melakukan kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan, serta tidak menangkap, memukul, dan membunuh penduduk desa.

Penduduk yang diwawancarai miiter juga mengatakan pasukan keamanan Myanmar tidak mencuri harta benda penduduk desa, tidak membakar masjid, tidak mengusir penduduk desa, dan tidak membakar rumah. Laporan tersebut juga mengatakan komunitas Rohingya bertanggung jawab atas rumah yang terbakar dan ratusan ribu orang yang melarikan diri karena mereka diinstruksikan.





Credit  REPUBLIKA.CO.ID







Kamis, 19 Oktober 2017

Amnesty: Tentara Myanmar Perkosa Perempuan Rohingya


 Ribuan pengungsi Rohingya
Ribuan pengungsi Rohingya


CB, JAKARTA -- Amnesty International mendapatkan bukti-bukti kekerasan seksual yang dilakukan tentara Myanmar terhadap perempuan-perempuan Rohingya di Rakhine Utara. Bukti-bukti itu dituliskan dalam laporan berjudul "My World Is Finished: Rohingya Targeted in Crimes against Humanity in Myanmar" yang terbit pada Rabu (18/10).

Dalam laporan tersebut, Amnesty International telah mewancarai tujuh penyintas Rohingya yang mengalami kekerasan sekusual yang dilakukan oleh militer Myanmar. Empat dan satu perempuan berusia 15 tahun dari ketujuh tersebut telah diperkosa oleh setiap kelompok tentara yang datang.

Pemerkosaan terjadi di dua desa yang diinvestigasi oleh Amnesty International yaitu di Min Gyi di kota Maungdaw dan Kyun Pauk di kota Buthidaung. Seperti yang sebelumnya didokumentasi oleh Human Rights Watch dan the Guardian, tentara Myanmar, setelah memasuki Min Gi, yang dikenal dengan nama Tula Toli, pada 30 Agustus mengejar warga Rohingya yang melarikan diri ke tepi sungai.

Setelah menangkap mereka, tentara memisahkan perempuan dan laki-laki dan anak-anak. Setelah menembak dan membunuh laki-laki, tentara Myanmar menarik perempuan Rohingya tersebut dan membawanya ke dalam rumah untuk diperkosa secara bergantian. Setelah memperkosa perempuan-perempuan tersebut, tentara membakar rumah dan perkampungan Rohingya dan kemudian pergi.

S.K. (30 tahun) menceritakan kepada Amnesty International bahwa setelah melihat pembunuhan tersebut, dia dan wanita dan remaja perempuan Rohingya lainnya dibawah ke parit dan dipaksa berdiri di air setinggi lutut. Menurut S.K, setelah memerkosa perempuan, tentara membakar rumah dan pergi. Banyak dari perempuan-perempuan yang telah diperkosa tersebut mati terbakar di dalam rumah.

Kejahatan lainnya yang dilakukan oleh militer Myanmar yaitu adanya pembakaran desa yang sistematis dan terorganisir. Pada tanggal 3 Oktober 2017, Operational Satellite Applications Programme (UNOSAT) milik PBB telah mengidentifikasi bangunan dengan total luas 20,7 kilometer persegi telah terbakar di Maungdaw dan Buthidaung sejak 25 Agustus. Total luas area yang terbakar diperkirakan lebih besar disebabkan oleh awan tebal yang menghalangi satelit untuk mendeteksi secara keseluruhan.

Amnesty International menganalisa data satelit tersebut dan menemukan bahwa setidaknya terdapat 156 titik api besar di Rakhine sejak 25 Agustus. Dalam lima tahun terakhir pada jenjang waktu tidak pernah terdeteksi api di wilayah tersebut. Ini menunjukkan bahwa kebakaran tersebut dilakukan secara sengaja.

Menurut Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty Internasional di Indonesia, Tirana Hassan, hasil analisa foto dan data satelit konsisten dengan apa yang diutarakan oleh saksi-saksi dalam interview dengan Amnesty International Indonesia bahwa tentara Myanmar hanya membakar perkampungan milik Rohingya.

Sebagai contoh, citra satelit di desa Inn Din dan Min Gyi menunjukkan bangunan yang rata oleh api hampir berdampingan dengan area yang tidak tersentuh. Wilayah yang tidak tersentuh oleh api tersebut adalah perkampungan warga etnis lainnya yang bukan Rohingya. Amnesty International menemukan pola pembakaran diskriminatif yang serupa di puluhan desa lainnya.

Otoritas Myanmar bisa membantah dan mencoba untuk lari dari tuduhan pembunuhan skala besar tersebut tapi teknologi modern ditambah dengan penelitian hak asasi mendalam telah mempertegas keterlibatan mereka, kata Tirana.

Tirana menegaskan, sudah saatnya masyarakat internasional bergerak, tidak hanya mengecam, tapi mengambil langkah konkrit untuk menghentikan kekerasan yang mengakibatkan hampir setengah dari populasi Rohingya di Rakhine melarikan diri.

"Dengan memutus kerjasama militer, menerapkan embargo senjata dan menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab, sebuah pesan akan tersampaikan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar di Rakhine tidak akan ditolerir," ujar Tirana.

Masyarakat internasional, lanjut Tirana, harus memastikan bahwa pembersihan etnis ini tidak berlanjut dengan cara mendukung dan membantu Bangladesh menyediakan perlindungan yang aman bagi pengungsi Rohingya dan memastikan bahwa Myanmar harus menghargai hak warga Rohingya untuk kembali secara selamat di perkampungan mereka.

"Myanmar juga harus menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap Rohingya dan menyelesaikan akar permasalahan dari krisis saat ini, kata Tirana. 





Credit  republika.co.id








Rabu, 18 Oktober 2017

AI: Tentara Myanmar Bunuh Ratusan Orang Rohingya


AI: Tentara Myanmar Bunuh Ratusan Orang Rohingya
Lembaga HAM internasional, Amnesti Internasional, merilis laporan yang menyatakan tentara Myanmar membunuh ratusan warga Rohingya. Foto/Istimewa


LONDON - Pasukan keamanan Myanmar membunuh ratusan pria, wanita dan anak-anak dalam sebuah kampanye sistematis untuk mengusir Muslim Rohingya. Hal itu dikatakan oleh Amnesty International (AI) dalam sebuah laporan terbaru. Lembaga HAM internasional ini pun menyerukan embargo senjata terhadap Myanamr dan pengadilan pidana terhadap para pelaku.

Lebih dari 580.000 pengungsi tiba di Bangladesh sejak 25 Agustus, ketika pasukan keamanan Myanmar memulai kampanye bumi hangus terhadap desa Rohingya. Pemerintah Myanmar telah mengatakan bahwa mereka menanggapi serangan oleh gerilyawan Muslim, namun PBB dan negara-negara lain mengatakan bahwa tanggapan tersebut tidak proporsional.

Eksodus yang terus berlanjut dari Muslim Rohingya telah menjadi krisis kemanusiaan yang besar. Hal ini memicu kecaman internasional terhadap Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang masih menyangkal kekejaman sedang terjadi.

Berdasarkan wawancara dengan lebih dari 120 orang yang melarikan diri dari Rohingya, AI mengatakan setidaknya ratusan orang tewas oleh pasukan keamanan yang mengepung desa, menembak penduduk yang melarikan diri dan kemudian membakar rumah-rumah, membakar mati orang tua, orang sakit dan orang cacat yang tidak dapat melarikan diri.

"Di beberapa desa, perempuan dan anak perempuan diperkosa atau mengalami kekerasan seksual lainnya," menurut laporan tersebut seperti dikutip dari ABC News, Rabu (18/10/2017).

AI mengatakan para saksi berulang kali menggambarkan sebuah lencana pada seragam penyerang mereka sesuai dengan yang dikenakan oleh pasukan dari Komando Barat Myanmar.

"Ketika ditunjukkan berbagai lencana yang digunakan oleh tentara Myanmar, para saksi secara konsisten memilih kotak Komando Barat," katanya.

Light Infantry Division ke-33 dan polisi perbatasan, yang mengenakan seragam penyamaran biru khas, juga sering dilibatkan dalam serangan ke desa-desa, bersamaan dengan kerumunan orang-orang biksu Budha, kata saksi mata.

Matthew Wells, seorang peneliti krisis AI yang menghabiskan beberapa minggu di perbatasan Bangladesh-Myanmar, mengatakan bahwa kelompok hak asasi manusia tersebut berencana untuk mengeluarkan laporan lain dalam beberapa bulan mendatang untuk memeriksa tanggung jawab pidana individual, termasuk komandan tertentu dan pihak-pihak lain yang mungkin terlibat dalam pelanggaran.

Dia mengatakan ratusan orang Rohingya telah dirawat karena luka tembak dan dokter mengatakan bahwa luka-luka tersebut konsisten dengan orang-orang yang tertembak dari belakang saat mereka melarikan diri.

Ada indikasi yang kredibel bahwa total beberapa ratus orang terbunuh di lima desa yang menjadi fokus pelaporan Amnesty. Wells mengatakan bahwa mengingat puluhan desa di wilayah Rakhine utara telah ditargetkan dengan cara yang sama, jumlah korban tewas bisa jauh lebih tinggi. 

Dia mengatakan citra satelit, yang diperkuat oleh catatan pengakuan saksi, menunjukkan bahwa rumah dan masjid telah dibakar seluruhnya di desa-desa Rohingya, sementara wilayah non-Rohingya hanya berjarak satu atau dua ratus meter tak tersentuh.

"Ini berbicara tentang bagaimana terorganisir, bagaimana kampanye mengguncang bumi yang terencana dengan baik ini oleh militer Myanmar dan betapa upaya tersebut untuk mendorong populasi Rohingya ke luar negeri," tutur Wells.

Di antara hampir dua lusin rekomendasi, kelompok hak asasi manusia meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk memberlakukan embargo senjata komprehensif terhadap Myanmar. AI juga meminta sanksi keuangan terhadap pejabat senior yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang menurut Amnesty memenuhi kriteria kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dikatakan DK PBB harus mencari opsi untuk membawa pelaku ke pengadilan berdasarkan hukum internasional jika otoritas Myanmar tidak bertindak cepat.

"Sudah saatnya masyarakat internasional bergerak melampaui kemarahan publik dan mengambil tindakan untuk mengakhiri kampanye kekerasan yang telah mendorong lebih dari setengah populasi Rohingya keluar dari Myanmar," kata AI.

Pada 25 Agustus, sebuah kelompok gerilyawan Rohingya yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army menyerang setidaknya 30 pos keamanan pada 25 Agustus, menyebabkan puluhan korban tewas, menurut pihak berwenang Myanmar. Serangan brutal terhadap Rohingya yang diikuti telah dijelaskan oleh PBB sebagai "pembersihan etnis teks book."

Eksodus Rohingya ke Bangladesh berlanjut, dengan beberapa jeda kecil, selama delapan minggu terakhir.

Pendatang baru, hampir semua ketakutan dan kelaparan, telah menggambarkan adegan kekerasan luar biasa dengan tentara dan gerilyawan Budha yang menyerang rumah etnis Rohingya.

Myanmar yang beragama Buddha telah menolak kewarganegaraan untuk Rohingya sejak 1982. Pemerintah Myanmar mengecualikan mereka dari 135 kelompok etnis yang secara resmi diakui, yang secara efektif membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Mereka telah lama menghadapi diskriminasi dan penganiayaan dengan banyak umat Budha di Myanmar yang menyebut mereka "orang Bengali" dan mengatakan bahwa mereka bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh, meskipun mereka telah tinggal di negara ini dari generasi ke generasi.







Credit  sindonews.com