Tampilkan postingan dengan label BOLIVIA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BOLIVIA. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 April 2019

Bolivia Sebut AS Halangi Pembicaraan Pemerintah dan Oposisi Venezuela


Bolivia Sebut AS Halangi Pembicaraan Pemerintah dan Oposisi Venezuela
Presiden Bolivia, Evo Morales mengatakan AS halangi upaya untuk membangun dialog antara pemerintah Venezuela dan oposisi di tengah krisis politik di negara itu. Foto/Reuters

SUCRE - Presiden Bolivia, Evo Morales mengatakan, Amerika Serikat (AS) membatasi upaya untuk membangun dialog antara pemerintah Venezuela dan oposisi di tengah krisis politik di negara Amerika Selatan itu. Morales menyebut, sudah ada beberapa kali recana pertemuan antara oposisi dan pemerintah Venezuela, tapi selalu dihalangi AS.

"Presiden Venezuela, Nicolas Maduro dan rakyatnya menginginkan dialog. Saya punya informasi bahwa oposisi Venezuela juga ingin berpartisipasi dalam dialog. Tetapi Presiden Donald Trump tidak membiarkan mereka berkumpul," ucap Morales dalam sebuah pernyataan.

Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa mantan Perdana Menteri Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero, yang bertindak sebagai mediator, telah mengorganisir beberapa pertemuan yang bertujuan untuk membangun dialog antara pemerintah Venezuela dan oposisi.
"Tapi, Washington telah menghalangi upaya rekonsiliasi ini," sambungnya, seperti dilansir Sputnik pada Kamis (11/4).

Sementara itu, sebelumnya Wakil Presiden AS, Mike Pence mendesak PBB untuk mengakui pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido sebagai pemimpin sah negara itu. Hal itu disampaikan Pence dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB di New York.

"Sudah waktunya PBB berbicara. Sekarang negara-negara di belahan bumi ini telah berbicara, sudah waktunya bagi PBB untuk mengakui Presiden Sementara Juan Guaido sebagai presiden Venezuela yang sah dan mendudukkan wakilnya dalam badan ini," kata Pence. 



Credit  sindonews.com



Rabu, 10 April 2019

Presiden Turki puji dukungan Bolivia buat Palestina


Presiden Turki puji dukungan Bolivia buat Palestina

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Kanan) dan Presiden Bolivia Juan Evo Morales Ayma (Kiri) mengadakan taklimat bersama setelah pertemuan mereka di Kompleks Presiden di Ankara, Turki, 9/4-2019 (Volkan Furuncu - Anadolu Agency) (Anadolu Agency)





Ankara (CB) - Presiden Turki pada Selasa (9/4) memuji dukungan Bolivia buat Al-Quds dan juga memuji pendekatan negara Amerika Selatan tersebut mengenai masalah Dataran Tinggi Golan.

Pernyataan Revep Tayyip Erdogan itu disampaikan dalam taklimat bersama dengan timpalannya dari Bolivia Juan Evo Morales Ayma, yang sedang berkunjung, di Kompleks Presiden di Ibu Kota Turki, Ankara.

"Saya ingin berterima kasih kepada Bolivia atas dukungannya dalam masalah Palestina, terutama mengenai status Al-Quds (Jerusalem) dan perlindungan warga sipil Palestina," kata Erdogan, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi. Ia juga memuji pendekatan Bolivia mengenai masalah Dataran Tinggi Golan.

Erdogan menyatakan masalah regional dan global dibahas dan keprihatinan mengenai kemunculan kelompok sayap-kiri dan kecenderungan yang merugikan Islam juga dibahas selama pertemuan mereka.

Pada Maret, Presiden AS Donald Trump mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel.

Tindakan tersebut dilakukan setelah Trump mengakui Al-Quds sebagai ibu kota Israel pada penghujung 2017 dan memindahkan kedutaan besar negerinya dari Tel Aviv ke Al-Quds tahun lalu, sehingga menyulut kemarahan dunia Islam.

Al-Quds tetap menjadi inti konflik selama beberapa dasawarsa di Timur Tengah; rakyat Palestina berharap Al-Quds Timur --yang diduduki Israel sejak 1967-- suatu hari nanti menjadi Ibu Kota Negara Palestina.

Hubungan Turki-Bolivia

Pada gilirannya Presiden Bolivia Juan Evo Morales menyampaikan kesediaan untuk meningkatkan hubungan dengan Turki. "Saya percaya kami dapat mewujudkan ini sebab kami memiliki pandangan yang sama."

Sementara itu Moralez mengecam AS "karena mengangkat presiden untuk Venezuela. Presiden Bolivia tersebut menolak tindakan AS itu.

"Mengangkat presiden hari ini seperti pengangkatan gubernur selama era kolonial," katanya.

Pada Januari, pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido mengumumkan diri sebagai penjabat presiden, tindakan yang didukung oleh AS, banyak negara Eropa dan negara Amerika Latin.

Presiden Bolivia tersebut, yang memuji sikap Turki mengenai krisis Bolivia, mengatakan, "Saya sangat mengetahui negara Venezuela, pemerintahnya dan rakyatnya ... Itu adalah negara yang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaannya meskipun menghadapi masalah fiskal. Itu sebabnya mengapa kami mendukung mereka."

Ia menyeru rakyat negara Amerika Latin agar menolak setiap campur-tangan militer tak peduli apa pun ideologinya.

Morales juga mengatakan Bolivia mengharapkan kerja sama dengan Turki di bidang industri pertahanan.

"Kami memerlukan kerja sama di bidang pertahanan, terutama untuk memerangi penyelundupan. Kami ingin mengalihkan dan membeli teknologi kerja sama dengan militer, dan kami memerlukan itu," katanya.

Presiden Bolivia itu juga menyampaikan rasa senangnya sehubungan dengan rencana Turki untuk melakukan penerbangan langsung ke Bolivia pada kuartal pertama 2020.





Credit  antaranews.com



Senin, 11 Februari 2019

Sambut Baik Intervensi Militer AS, Guaido Disemprot Evo Morales


Sambut Baik Intervensi Militer AS, Guaido Disemprot Evo Morales
Presiden Bolivia Evo Morales mengecam pernyataan pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido. Foto/Istimewa

 

LA PAZ - Presiden Bolivia, Evo Morales, mengecam pernyataan pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido. Guaido menyatakan kemungkinan intervensi militer Amerika Serikat (AS) ke negara yang dilanda krisis itu.

“Kami menolak pernyataan oleh Juan Guaido yang memproklamirkan dirinya sendiri yang menyambut baik intervensi militer AS di Venezuela,” posting Morales di Twitter.

"Saya ingin tahu apa yang dikatakan oleh saudara-saudara presiden yang mengenalnya tentang hasutan perang di Amerika Latin," tambahnya seperti dikutip dari Anadolu, Minggu (10/2/2019).

Guiado pada hari Jumat menolak untuk mengesampingkan otorisasi kemungkinan intervensi militer AS untuk menggulingkan Presiden Nicolas Maduro dari kekuasaan.

Venezuela telah diguncang oleh protes sejak 10 Januari lalu ketika Presiden Nicolas Maduro dilantik untuk masa jabatan kedua setelah pemungutan suara yang diboikot oleh oposisi.

Ketegangan meningkat ketika pemimpin oposisi Guaido menyatakan dirinya bertindak sebagai presiden pada 23 Januari. Langkah ini kemudian didukung oleh AS dan banyak negara Eropa serta Amerika Latin.

Sedangkan Rusia, Turki, China, Iran, Bolivia, dan Meksiko memberikan dukungannya kepada Maduro. 






Credit  sindonews.com






Senin, 14 Januari 2019

Militan Italia Battisti ditangkap di Bolivia setelah kabur dari penjara tahun 1981


Militan Italia Battisti ditangkap di Bolivia setelah kabur dari penjara tahun 1981
Polisi Italia membawa bos Mafia Michele Zagaria dari kantor polisi di Caserta, sebuah kota di selatan Italia, Rabu (7/12). Polisi Italia menahan bos Mafia Michele Zagaria, salah satu buronan paling dicari di negeri itu sekaligus kepala dari klan Casalesi yang kuat dan menguasai wilayah di utara Naples. (FOTO ANTARA/REUTERS/Ciro De Lu)




Milan (CB) - Mantan gerilyawan berhaluan kiri asal Italia Cesare Battisti, yang telah buron selama hampir empat dekade setelah dipenjara karena melakukan pembunuhan, telah ditangkap di Bolivia dan diperkirakan akan diekstradisi ke Italia, kata para pejabat pada Ahad.

"Ia akan segera tiba di Brazil dan dari sini akan dibawa ke Italia untuk menjalani hukuman seumur hidup," cuit Felipe G. Martins, seorang pembantu senior mengenai urusan internasional untuk Presiden Brazil Jair Bolsonaro.

Pesawat yang membawa polisi Italia dan pejabat intelijen sudah dalam penerbangan ke Amerika Selatan, kata Kementerian Dalam Negeri Italia pada Ahad, demikian Reuters melaporkan.

Menteri Dalam Negeri Matteo Salvini, yang juga deputi perdana menteri, mengatakan kepada televisi, ia berharap Battisti akan berada di Italia pertengahan pekan ini.


Battisti, 64 tahun, menghadapi hukuman penjara seumur hidup di negaranya, tempat ia terbukti terlibat dalam empat pembunuhan pada tahun 1970-an. Ia menolak pertanggungjawabannya atas pembunuhan itu.

Ia meloloskan diri dari penjara pada 1981 dan tinggal di Prancis sebelum melarikan diri ke Brazil untuk menghindari ekstradisi.

Battisti, yang mempunyai seorang putera berusia lima tahun di Brazil, menghabiskan waktunya bertahun-tahun di Brazil, didukung mantan Presiden Luiz Inacio Lula da Silva yang berhaluan kiri.

Namun, Bolsonaro, yang naik menjadi presiden bulan ini, telah berjanji akan mengirimnya pulang ke Italia. Pada Desember seorang hakim Mahkamah Agung Brazil memerintahkan penangkapan Battisti tetapi kemudian dia sudah kabur lagi.

Dalam satu pernyataan pada Ahad, Salvini mengucapkan terima kasih kepada kepolisian dan semua yang terlibat dalam penangkapan Battisti.

"Saya ucapkan terima kasih setulus hati kepada Presiden Jair Bolsonaro dan pemerintahan baru Brazil atas iklim politik yang berubah," kata dia.

Salvini, ketua partai Liga yang berhaluan kanan dan bermitra dengan Gerakan Bintang 5 dalam koalisi yang berkuasa di Italia, merupakan salah seorang politisi tinggi Eropa pertama yang mendukung pemilihan Bolsonaro.

Presiden Italia Sergio Mattarella menyatakan pada Ahad kepuasannya atas penangkapan Battisti. "Kami berharap Battisti segera diserahkan ke pengadilan Italia," katanya.

Battisti, yang telah menjadi penulis novel berhasil, mengatakan tahun lalu ia akan menghadapi penyiksaan dan kematian jika diserhakan ke Italia.

Pengacaranya mengatakan kepada Reuters bulan lalu bahwa ia telah mengajukan banding terhadap keputusan Mahkamah Agung Brazil, yang berusaha menghalangi upaya lain untuk mengektradisi kliennya.








Credit  antaranews.com










Jumat, 13 April 2018

Bolivia Minta Diadakan Pertemuan DK PBB untuk Bahas Suriah


Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan PBB
Foto: AP


Permintaan Bolivia ini disampaikan setelah Donald Trump memperingatkan serangan rudal



CB, NEW YORK -- Bolivia meminta Dewan Keamanan PBB untuk menggelar pertemuan pada Kamis (12/4). Pertemuan itu dimaksudkan untuk membahasretorika mengenai Suriah dan ancaman aksi militer sepihak.

Permintaan Bolivia tersebut dilakukan beberapa jam setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan serangan rudal.Trump memperingatkan Rusia pada Rabu mengenai aksi militer yang akan segera terjadi di Suriah atas dugaan serangan gas beracun yang mematikan

Pihaknya menyatakan bahwa rudal akan datang. Washington juga mencerca Moskow karena berdiri di pihak Presiden Suriah Bashar al-Assad. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), puluhanorang tewas dan ratusan lainnya terluka dalam serangan itu.

"Ada konsistensi dalam ancaman ini, jadi kami prihatin karena tindakan sepihak apa pun akan menjadi pelanggaran terhadap prinsip dan tujuan piagam (PBB)," kata Dubes Bolivia untuk PBB Sacha Sergio Llorentty Soliz kepada wartawan.

Sebelumnyapada Selasa (10/4),dewan beranggotakan 15 negara itu gagal untuk menyetujui tiga rancangan resolusi mengenai serangan senjata kimia di Suriah. Rusia memveto teks AS, sementara dua resolusi yang disusun Rusia gagal mendapatkan sembilan suara untuk lolos.

"Apa pun yang terjadi selanjutnya harus mematuhi hukum internasional," kata Duta Besar Swedia Olof Skoog kepada wartawan pada Rabu (11/4), mengacu pada rencana AS untuk aksi militer.

Beberapa diplomat mengatakan ada beberapa argumen untuk membenarkan pengeboman Suriah atas dugaan serangan senjata kimia.Dapat dikatakan bahwa serangan sedang dilakukan untuk mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB.

Seperti halnya pada tahun 1998 ketika sebuah operasi pengeboman AS dan Inggris menyerang fasilitas penelitian dan penyimpanan senjata Irak. Operasi serangan itu dilakukan untuk membalas penolakan pemerintah Irak untuk bekerja sama sepenuhnya dengan penyelidikan senjata PBB.

Atau, serangan terhadap Suriah juga bisa dibenarkan sebagai tindakan untuk menghentikan penggunaan atau penyebaran senjata pemusnah massal. Langkah itu diambil karena Dewan Keamanan PBB tidak dapat bertindak.

Setiap negara yang melakukan serangan terhadap Suriah atas serangan senjata kimia juga dapat mempertahankan tindakan mereka berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Isi pasal tersebut mencakup hak individu atau kolektif untuk membela diri terhadap serangan bersenjata.

"Penggunaan senjata kimia, sekali diizinkan untuk menyebar, adalah ancaman bagi semua orang dan jika itu mengambil alih dan menjadi bagian rutin dari pertempuran, maka kita semua berisiko," kata salah seorang diplomat Dewan Keamanan, berbicara dengan syarat anonim.

Bentrokan antara Trump dan Putin mengenai Suriah telah mengguncang saraf global. Pada September 2014, AS memperjuangkan dimulainya aksi militernya terhadap militan ISIS di Suriah berdasarkan Pasal 51. Washington menyatakan bahwa pihaknya menyerang ISIS di Suriah untuk menghapuskan ancaman terhadap Irak, AS dan sekutu-sekutunya.




Credit  republika.co.id