Tampilkan postingan dengan label GUATEMALA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label GUATEMALA. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 April 2019

AS Hentikan Bantuan ke Tiga Negara Amerika Tengah 'Pengekspor' Migran


AS Hentikan Bantuan ke Tiga Negara Amerika Tengah \Pengekspor\ Migran
Kementerian Luar Negeri AS menuturkan, pihaknya akan menghentikan bantuan ke El Salvador, Guatemala dan Honduras, yang dikenal sebagai Segitiga Utara. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menuturkan, pihaknya akan menghentikan bantuan ke El Salvador, Guatemala dan Honduras, yang secara kolektif dikenal sebagai "Segitiga Utara". Keputusan ini diambil setelah Presiden AS, Donald Trump mengecam negara-negara Amerika Tengah karena ruitn "mengirim" migran ke AS.

"Kami sedang menjalankan arahan Presiden dan mengakhiri tahun fiskal 2017 dan 2018 program bantuan asing untuk Segitiga Utara," kata Kementerian Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Arabiya pada Minggu (31/3).

Kementerian Luar Negeri mengatakan akan melibatkan Kongres dalam prosesnya. Penghentian bantuan ini sendiri memang akan memerlukan persetujuan anggota parlemen untuk dapat disahkan.

Trump pada hari Jumat mengatakan, ketiga negara itu telah "mengatur" karavan para migran untuk mengekspornya ke AS. Gelombang pencari suaka dari tiga negara telah berusaha untuk memasuki AS di perbatasan selatan dalam beberapa hari terakhir.

“Kami memberi mereka USD 500 juta. Kami membayar mereka sejumlah besar uang, dan kami tidak membayar mereka lagi karena mereka belum melakukan sesuatu untuk kami," kata Trump.

Pemimpin AS itu juga mengancam untuk menutup perbatasan dengan Meksiko, jika Meksiko tidak menghentikan imigran dari mencapai AS, sebuah langkah yang dapat mengganggu jutaan orang dan miliaran dolar dalam perdagangan.



Credit  sindonews.com



Jumat, 29 Maret 2019

18 orang tewas saat truk seruduk massa di Guatemala

18 orang tewas saat truk seruduk massa di Guatemala
Guatemala (googlemaps)




Kota Guatemala (CB) - Satu truk menyeruduk orang yang berkerumun di bagian barat Guatemala pada Rabu malam (27/3), dan menewaskan 18 orang, kata pemerintah pada Kamis pagi, dengan mengoreksi perkiraan awal mereka.

Truk itu menabrak sekumpulan orang yang telah pergi ke jalan untuk memeriksa satu orang yang telah ditabrak mobil, kata Cecilio Chacaj, Juru Bicara Departemen Pemadam Kebakaran setempat, kepada Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis malam.

Kecelakaan itu menewaskan 18 orang, termasuk anak perempuan yang berusia delapan tahun, kata Kantor Jaksa Penuntut Umum. Sembilan-belas orang dibawa ke rumah sakit karena cedera, kata Kementerian Kesehatan di dalam satu pernyataan.

Kecelakaan tersebut terjadi di Kota Praja Nahuala, sebelah barat Kota Guatemala.

"Pada saat ini, kami mengkoordinasikan reaksi kami untuk memberi dukungan penuh buat kerabat korban," tulis Presiden Jimmy Morales di satu cuitan Twitter. "Hati kami berduka."

Peristiwa itu menandai salah satu kecelakaan paling buruk di negeri tersebut dalam beberapa tahun belakangan. Pada 2013, satu bus terjun ke jurang di pedesaan Guatemala, menewaskan sedikitnya 43 orang dan melukai puluhan orang lagi.

Para pejabat pemerintah pada Kamis mengatakan mereka mengubah penilaian awal mereka mengenai sedikitnya 32 orang tewas, setelah petugas pemadam dan pejabat lain di lokasi kecelakaan melakukan pemeriksaan lain orang yang cedera di tumpukan mayat.



Credit  antaranews.com




Rabu, 09 Januari 2019

Guatemala Putuskan Mundur dari Badan Anti-Korupsi PBB


Guatemala Putuskan Mundur dari Badan Anti-Korupsi PBB
Presiden Guatemala, Jimmy Morales mengatakan, pihaknya akan menarik diri dari komisi anti-korupsi yang didukung PBB. Foto/Istimewa

GUATEMALA CITY - Presiden Guatemala, Jimmy Morales mengatakan, pihaknya akan menarik diri dari komisi anti-korupsi yang didukung PBB dan memberikan waktu 24 jam bagi staf badan itu untuk meninggalkan negara itu. Langkah itu menuai kecaman dari kelompok-kelompok HAM dan pengacara konstitusi di negara tersebut.

Morales menuduh Komisi Internasional Melawan Impunitas di Guatemala, yang biasa dikenal sebagai CICIG, mempolarisasi negara dan membahayakan keamanannya, serta melanggar HAM dan bersekutu dengan struktur kriminal dan "teroris".



"Guatemala mengakhiri perjanjian dengan CICIG karena pelanggaran serius hukum nasional dan internasional. Kami telah menunggu 16 bulan bagi PBB untuk menanggapi keluhan kami," kata Morales dalam konferensi pers di Guatemala City.

"CICIG telah mempertaruhkan kedaulatan rakyat Guatemala. PBB tidak mencari solusi untuk dugaan pelanggaran yang terjadi," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Al Jazeera pada Selasa (8/1).

Morales membuat pernyataan itu sembari dikelilingi oleh keluarga orang-orang yang ia tegaskan dituduh oleh CICIG, termasuk keluarga Rusia yang dituntut dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena menggunakan paspor Guatemala yang dipalsukan.


Sementara itu,Menteri Luar Negeri Guatemala, Sandra Jovel menuturkan bahwa dia telah memberi tahu Sekertaris Jenderal PBB, Antonio Guterres tentang keputusan sepihak itu. "Kesepakatan itu diselesaikan. Kami berharap Sekjen PBB akan menghormati kedaulatan kami," ungkap Jovel. 





Credit  sindonews.com





Kamis, 27 Desember 2018

Bocah Guatemala meninggal dalam penahanan Amerika Serikat


Bocah Guatemala meninggal dalam penahanan Amerika Serikat
Puluhan anak dan anggota keluarga mengikuti aksi duduk setelah berpawai menandai jatuh tempo perintah pengadilan bagi pemerintahan Trump untuk menyatukan kembali ribuan keluarga yang terpisah di perbatasan, di Washington, Amerika Serikat, Kamis (26/7/2018). (REUTERS/Carlos Barria)





Washington (CB) - Seorang bocah laki-laki 8 tahun asal Guatemala meninggal pada Selasa (25/12) tengah malam setelah ditahan petugas perbatasan Amerika Serikat, kata Kepabeanan dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP).

Kematian bocah tersebut menjadi yang kedua kali terjadi bulan ini pada anak-anak migran yang sedang ditahan AS.

Bocah Guatemala itu, beserta ayahnya, berada di bawah penahanan CBP pada Senin (24/12) ketika seorang agen Patroli Perbatasan memerhatikan bahwa anak tersebut terlihat sakit, kata CBP dalam pernyataan.

Ayah dan puteranya kemudian dibawa ke Gerald Champion Regional Medical Center di Alamogordo, New Mexico. Di rumah sakit itu, sang bocah didiagnosis mengalami pilek dan demam biasa dan akhirnya dibolehkan pulang staf rumah sakit.

Namun kemudian pada malam itu, bocah tersebut muntah-muntah dan dibawa kembali ke rumah sakit.

Ia meninggal tak lama setelah tengah malam, kata CBP, yang menambahkan bahwa penyebab kematian belum diketahui.

Nama ayah dan anak tidak disebutkan dan CBP mengatakan pihaknya akan mengeluarkan keterangan lebih rinci "jika sudah ada dan layak."

Kematian itu sudah diberitahukan kepada para pejabat Guatemala, kata CBP.

Kementerian Luar Negeri Guatemala mengatakan konsulnya di Phoenix sedang berusaha untuk berbicara dengan ayah anak tersebut. Kementerian menjanjikan kepada sang ayah bahwa pihaknya akan memberikan seluruh bantuan kekonsuleran yang diperlukan serta perlindungan.

Dalam pernyataan, Kemlu Guatemala mengatakan pihaknya juga telah meminta catatan medis untuk mengetahui dengan jelas penyebab kematian bocah tersebut.

Menurut Kementerian, sang bocah dan ayahnya memasuki Amerika Serikat melalui El Paso, Texas, pada 18 Desember dan dipindahkan ke pos pemeriksaan perbatasan di Alomogordo pada 23 Desember.

Sebelumnya pada awal Desember, seorang anak perempuan berusia 7 tahun bernama Jakelin Caal, juga asal Guatemala, meninggal setelah ditahan bersama ayahnya para petugas perbatasan AS di sebuah daerah terpencil di New Mexico.

Pemerintahan Presiden Donald Trump telah berupaya menghalangi orang-orang menyeberangi perbatasan secara ilegal antara gerbang-gerbang masuk negara dalam rangka mencari suaka.

Pada saat yang sama, pemerintahan Trump membatasi akses legal untuk pos-pos perbatasan resmi. Keadaan itu menyebabkan para pemohon suaka harus menunggu selama berbulan-bulan, termasuk mereka yang datang secara berombongan dari negara-negara Amerika Tengah tahun ini.

Jakelin dimakamkan pada Hari Natal di desa tempat keluarganya berasal di Guatemala.

Kematian Jakelin memicu kritik dari kalangan Demokrat serta pembela hak-hak migran atas kebijakan keimigrasian Presiden Trump.

Pemerintahan Trump sendiri mengatakan bahwa kematian Jakelin menunjukkan betapa berbahaya perjalanan yang ditempuh bocah tersebut dan keputusan keluarganya untuk menyeberangi perbatasan secara ilegal.

Kematian Jakelin sedang diselidiki Inspektorat Jenderal Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menyangkut tuduhan ada kesalahan penanganan para staf badan perlindungan perbatasan.





Credit  antaranews.com










Jumat, 23 November 2018

Mantan prajurit Guatemala dihukum penjara lebih dari 5.000 tahun


Mantan prajurit Guatemala dihukum penjara lebih dari 5.000 tahun
Pengunjuk rasa mengenakan kostum sebagai Dewi Keadilan (kanan) dan seorang tentara dengan seutas tali saat menggelar aksi teatrikal di luar Mahkamah Agung untuk menuntut persidangan terhadap kejahatan genosida yang terjadi selama konflik bersenjata internal, di Kota Guatemala, Guatemala, Rabu (23/5). Mantan diktator Guatemala Efrain Rios Montt akan menghadapi sidang kedua atas kejahatan genosida setelah Senin lalu hakim memutuskan bahwa Rios Montt dapat dijatuhi hukuman karena memerintahkan pembunuhan massal tahun 1982 yang menewaskan 201 orang. Rios Montt (85) yang berkuasa selama periode berdarah 1982 dan 1983 telah disidangkan atas tuntutan lainnya terkait genosida dan kejahatan kemanusiaan. Diperkirakan 250.000 orang tewas dan 45.000 orang menjadi korban penghilangan paksa saat konflik bersenjata internal yang berlangsung dari tahun 1960 hingga tahun 1996, menurut media setempat. (REUTERS/Jorge Dan Lopez)




Kota Guatemala (CB) - Pengadilan Guatemala pada Rabu (21/11) menjatuhkan hukuman penjara 5.160 tahun terhadap seorang mantan prajurit atas pembantaian massal terhadap 171 orang.

Pembantaian tersebut dianggap sebagai salah satu kekejaman paling buruk dalam perang saudara selama 36 tahun di negara itu.

Majelis jaksa mengatakan bahwa bekas tentara itu, Santos Lopez, terlibat dalam pembunuhan massal pada 1982 terhadap hampir separuh dari pria, wanita dan anak-anak penduduk desa petani Dos Erres.

Lopez dituduh menjadi bagian dari pasukan Patroli Khusus Kaibiles, yang dikerahkan ke Dos Erres untuk mencari anggota kelompok gerilya, yang sebelumnya menyergap iringan militer.

Ketika pasukan patroli gagal menemukan gerilyawan atau senjata api, mereka menarik penduduk desa keluar dari rumah dan memerkosa remaja putri, kata jaksa. Untuk menutupi pemerkosaan itu, pasukan membunuh hampir separuh penduduk di sana.

Pembunuhan massal itu dilancarkan pada masa kepemimpinan diktator militer Guatemala, Rios Montt.

Montt meninggal pada April. Ia saat itu dituduh melakukan pemunahan. Dakwaan tersebut dikenakan terhadapnya dalam salah satu tahap paling berdarah pada konflik masa Perang Dingin, yang berlangsung sejak 1960 hingga 1996.




Credit  antaranews.com




Senin, 28 Mei 2018

Gadis Guatemala Dibunuh Pasukan AS, Korban Dianggap 'Binatang'


Gadis Guatemala Dibunuh Pasukan AS, Korban Dianggap Binatang
Kerabat gadis Guatemala yang ditembak mati pasukan patroli perbatasan AS menunjukkan foto korban. Foto/REUTERS


GUATEMALA CITY - Seorang gadis Guatemala berusia 19 tahun dibunuh oleh pasukan patroli perbatasan Amerika Serikat (AS). Presiden Donald Trump menganggap korban sebagai "binatang" yang mencoba memasuki Amerika dengan menjadi anggota geng migran ilegal.

Deskripsi negatif itu membuat keluarga korban tersinggung. Korban yang diidentifikasi bernama Claudia Gomez, ditembak mati pada Rabu di Texas selatan oleh seorang petugas yang melepaskan tembakan.

Agen Patroli Perbatasan AS dalam sebuah pernyataan mengatakan petugas menembak perempuan itu setelah beberapa orang "mendorong" korban memasuki perbatasan Texas selatan.

Agen tersebut mendeskripsikan orang-orang yang mencoba masuk ke wilayah AS sebagai sekelompok orang asing ilegal, di mana Claudia Gomez berada di antara mereka.

Pernyataan tersebut juga mengklaim bahwa sekelompok orang asing yang mencoba masuk ke wilayah AS menyerang para petugas dengan benda-benda tumpul. Agen itu menegaskan bahwa Gomez berada di antara para penyerang.

"Kepada pemerintah Amerika Serikat, (saya minta) bahwa Anda jangan memperlakukan kami seperti ini-seperti binatang-hanya karena Anda adalah negara yang kuat dan maju," kata Dominga Vicente, bibi Gomez, mengatakan kepada wartawan di Guatemala City, yang dilansir Reuters, Sabtu (26/5/2018).

Pada hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Guatemala mengatakan hak-hak migran harus dihormati. "Guatemala menyesalkan setiap tindakan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh patroli perbatasan," kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan.

Sebuah video berdurasi tujuh menit yang di-posting online menunjukkan insiden penembakan tersebut. Dalam video itu, seorang wanita beteriak dalam bahasa Spanyol; "Mengapa Anda menembak gadis ini? Anda membunuhnya!".

Trump mengatakan pekan lalu bahwa dia merujuk pada kelompok kriminal ketika dia menyebut beberapa imigran gelap sebagai "binatang".

Dia membela pernyataannya dan kini berencana untuk mengurangi bantuan ke negara-negara yang dia sebut tidak melakukan apa pun untuk menghentikan anggota geng MS-13 menyeberang ke Amerika Serikat.

Kelompok kriminal itu dikenal menyebar di El Salvador, Honduras dan Guatemala.




Credit  sindonews.com




Kamis, 24 Mei 2018

Pindahkan Kedubes ke Yerusalem, Guatemala 'Dicerai' Liga Arab


Pindahkan Kedubes ke Yerusalem, Guatemala Dicerai Liga Arab
Presiden Guatemala dan isteri bersama PM Israel Benjamin Netanyahu dan isteri meresmikan Kedubes Guatemala di Yerusalem. Foto/Istimewa


KAIRO - Liga Arab mengatakan tidak akan bekerja sama lagi dengan Guatemala. Pemutusan hubungan itu dilatarbelakangi keputusan negara itu memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.


Organisasi yang bermarkas di Kairo itu mengatakan, telah meninggalkan nota kesepahaman yang ditandatangani pada 2013 dan telah memutuskan hubungan dengan negara Amerika Tengah itu seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (24/5/2018).

Guatemala memindahkan kedutaannya ke Yerusalem awal bulan ini, menyusul peresmian Kedutaan Besar AS di Yerusalem yang disengketakan.

Guatemala adalah negara pertama yang menempatkan kedutaannya di Yerusalem, pada tahun 1956. Negara itu memindahkan fasilitasnya 24 tahun kemudian ke Tel Aviv, setelah parlemen Israel menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota yang abadi dan tak terpisahkan yang bertentangan dengan resolusi PBB.

Palestina mengklaim Yerusalem timur sebagai Ibu Kota negara masa depan mereka. Dunia internasional pun berpendapat status terakhir dari Yerusalem harus diputuskan dalam tahap akhir pembicaraan damai.

Guatemala adalah termasuk dalam 9 negara yang mendukung Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dalam sidang umum PBB pada Desember tahun lalu. Selain Guatemala ada Honduras, Micronesia, Nauru, Palau dan Kepulauan Marshall serta Togo.

Sebelumnya, Rabat telah menunda rencana untuk kemitraan kota kembar dengan Guatemala City. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemindahan kedubes Guatemala di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.


Langkah AS dan Guatemala ini belakangan diikuti oleh Paraguay. Presiden Paraguay Horacio Cartes meresmikan langsung kantor Kedutaan Besar Paraguay di Yerusalem yang terletak di kawasan taman teknologi Malkha, kawasan yang sama di mana kedutaan Guatemala berdiri. 






Credit  sindonews.com





Senin, 21 Mei 2018

Pindahkan Kedubes ke Yerusalem, Guatemala 'Dihukum' Rabat



Pindahkan Kedubes ke Yerusalem, Guatemala Dihukum Rabat
Kedubes Guatemala di Yerusalem. Foto/REUTERS/Ronen Zvulun



RABAT - Rabat telah menunda rencana untuk kemitraan kota kembar dengan Guatemala City. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemindahan kedubes Guatemala di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Setelah keputusan Guatemala untuk mendirikan kedutaan di Al Quds (Yerusalem), dewan kota Rabat dengan suara bulat memutuskan untuk menunda pemeriksaan proyek kembar dengan Guatemala City dalam solidaritas dengan rakyat Palestina," kata Wakil Walikota Rabat, Lahcen El Amrani, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (20/5/2018).

Dewan kota Rabat sebelumnya telah merencanakan untuk memberikan suara pada proyek kota kembar dengan Guatemala City minggu lalu. Guatemala membuka kedutaan besar di Rabat, yang kedua di Afrika, pada bulan November 2017.

Guatemala membuka kedutaan besar di Yerusalem pada hari Rabu, dua hari setelah Amerika Serikat (AS) meresmikan situs barunya di kota itu, sebuah langkah yang membuat marah warga Palestina dan mengundang kecaman internasional.


Israel menganggap Yerusalem sebagai Ibu Kota dan Palestina juga berharap suatu hari untuk memiliki Ibu Kota negara merdeka mereka di sana. Sebagian besar negara memiliki kedutaan besar Israel di Tel Aviv, dengan alasan bahwa status Yerusalem harus ditentukan dalam pembicaraan masa depan.

Pada hari ketika Amerika Serikat membuka kedutaan baru, pasukan Israel membunuh 60 demonstran Palestina di perbatasan di Gaza. Israel mengatakan kekerasan itu pecah karena dihasut oleh Hamas, kelompok Islam yang memerintah di Gaza. Nmaun Hamas menolak disalahkan. 




Credit  sindonews.com





Jumat, 04 Mei 2018

Guatemala Segera Resmikan Kedubes di Yerusalem


Beberapa orang Israel di Menara Nabi Daud, Yerusalem, Palestina.
Beberapa orang Israel di Menara Nabi Daud, Yerusalem, Palestina.
Foto: Oded Balilty/AP


Bendera Guatemala telah berkibar di kedutaan sejak akhir April lalu.



CB, YERUSALEM -- Guatelama telah membuka kedutaan mereka di Yerusalem pada Senin (30/4). Bendera Guatemala juga telah berkibar di tempat tersebut, dilansir di Middle East Monitor, Kamis (3/5).

Kantor kedutaan tersebut akan secara resmi dibuka pada Rabu (16/5), dua hari setelah peresmian kedutaan Amerika Serikat di Yerusalem. Terkait hal tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengungkapkan rasa senangnya.

"Saya terharu melihat bendera Guatemala berkibar di Yerusalem sebelum pembukaan kedutaan besar pertengahan bulan ini," kata Netanyahu melalui akun Twitter @netanyahu, Rabu (2/5).

Sebelumnya, setelah mengumumkan Guatemala akan memindahkan negaranya ke Yerusalem, Presiden Guatemala Jimmy Morales mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Presiden AS Donald Trump. Ia mengatakan, hal berani yang dilakukan Trump dengan memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem adalah kebenaran.

Keputusan sejumlah negara memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem sempat menyulut kemarahan dari berbagai pihak. Hal tersebut diawali Trump yang menyatakan akan memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem pada Desember tahun lalu. Saat ini, negara yang telah memutuskan memindahkan kedutaan besar mereka adalah Rumania, Republik Ceko, Paraguay, dan Honduras.





Credit  republika.co.id






Rabu, 07 Maret 2018

Palestina Kecam Langkah Guatemala Turut Pindahkan Kedutaan ke Yerusalem


Palestina Kecam Langkah Guatemala Turut Pindahkan Kedutaan ke Yerusalem
PLO, melemparkan kecaman keras atas keputusan Guatemala yang mengikuti langkah AS untuk memindahkan Kedutaan Besar mereka di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Foto/Istimewa


RAMALLAH - Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO, melemparkan kecaman keras atas keputusan Guatemala yang mengikuti langkah Amerika Serikat (AS) untuk memindahkan Kedutaan Besar mereka di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Hanan Ashrawi, anggota Komite Pelaksana PLO menyatakan, langkah Presiden Guatemala, Jimmy Morales untuk memindahkan kedubesnya ke Yerusalem sejatinya tidak mengherankan. Karena, lanjut Asharawi, dia memiliki sikap dan pola pikir yang sama dengan Presiden AS, Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

"Gabungkan evalingelis ekstremis dan literalis  (dan) Anda memiliki kombinasi faktor mematikan yang membuat ketiga orang ini, Netanyahu, Trump dan Morales, bergerak menuju penerapan strategi dan kebijakan yang ilegal dan itu menghancurkan kemungkinan perdamaian," kata Asharwai, seperti dilansir Reuters pada Senin (5/3).

Sementara itu, Duta Besar Guatemala, Sara Castaneda dilaporkan terlihat di Yerusalem dan terlihat seperti sedang mencari sebuah properti, yang diduga kuat untuk menjadi kantor Kedutaan Besar Guatemala di Israel.

Sebelumnya diwartakan, Morales dalam konferensi pers di Washington, DC, menyatakan bahwa negaranya akan turut memindahkan kedutaan ke Yerusalem pada bulan Mei mendatang.

”Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Presiden (Donald) Trump karena telah memimpin keputusannya yang berani, yang telah mendorong kita untuk melakukan yang benar,” kata Morales dalam sebuah pidato di konferensi tahunan kebijakan Komite Publik Amerika-Israel.

Guatemala adalah satu dari sedikit negara yang mendukung keputusan Presiden Trump pada bulan Desember untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Negara itu menjadi yang pertama setelah AS yang menetapkan tanggal untuk memindahkan kedutaannya di Israel.




Credit  sindonews.com








Rabu, 14 Februari 2018

Mantan presiden Guatemala ditangkap terkait kasus korupsi


Mantan presiden Guatemala ditangkap terkait kasus korupsi
Arsip Foto. Seorang perempuan yang berpakaian seperti Dewi Keadilan, berdiri sebagai aksi protes di pintu masuk Mahkamah Agung Guatemala. (REUTERS/Jorge Dan Lopez)




Kota Guatemala (CB) - Mantan Presiden Guatemala Alvaro Colom dan bekas Menteri Keuangan Juan Alberto Fuentes ditangkap pada Selasa dalam penyelidikan kasus korupsi menurut kantor kejaksaan umum.

"Salah satu dari 10 orang yang ditangkap dalam operasi hari ini adalah mantan presiden republik ini, Alvaro Colom," kata Juan Francisco Sandoval, kepala antikorupsi di kantor kejaksaan umum, dalam wawancara dengan sebuah radio setempat.

Mantan menteri keuangan Juan Alberto Fuentes, yang saat ini menjabat sebagai kepala Oxfam International, juga termasuk di antara mereka ditahan menurut kejaksaan.

Penahanan terhadap Fuentes menambah tekanan terhadap yayasan Inggris itu, yang menghadapi laporan-laporan muncul soal pelecehan seksual sejumlah petugas bantuannya di Haiti.

Fuentes telah "menyakinkan kami bahwa ia akan sepenuhnya bekerja sama dengan tim penyelidik dengan keyakinan bahwa dia tidak sadar telah melanggar aturan atau prosedur," kata Direktur Eksekutif Oxfam International Winnie Byanyima dalam pernyataan.

Colom (66) menjabat sebagai presiden Guatemala dari 2008 hingga 2012.

Penyelidikan korupsi yang saat ini berjalan sedang menyoroti pembelian bus-bus pada masa kepemimpinan Colom dalam program pengadaan tranportasi bagi masyarakat.

"Menurut kami segalanya sah, tapi mari kita tunggu dan lihat apa yang dikatakan hakim," kata Colom ketika ia memasuki pengadilan dengan penjagaan polisi.

Delapan orang lainnya yang ditahan adalah para mantan menteri Colom yang menandatangani kesepakatan pembelian bus.

Colom bukan merupakan pemimpin Guatemala pertama yang menghadapi tuduhan korupsi.

Presiden Guatemala saat ini, Jimmy Morales, mantan pelawak televisi yang mengusung gerakan antikorupsi dalam kampanyenya, tahun lalu dihujani kritik dari Perserikatan Bangsa-bangsa, Uni Eropa dan duta besar Amerika Serikat di Guatemala karena berupaya mengusir seorang jaksa yang didukung PBB karena berusaha membawa Morales ke persidangan karena dugaan korupsi.

Penyelidikan dugaan pendanaan kampanye ilegal, yang diikuti penyelidikan kasus korupsi pada anggota keluarga presiden itu, telah membuat Morales menghadapi ancaman pemakzulan.

Pendahulu Morales, mantan presiden Otto Perez, saat ini berada di balik jeruji menunggu persidangan karena tuduhan korupsi, demikian menurut siaran kantor berita Reuters. 



Credit  antaranews.com








Selasa, 13 Februari 2018

Megalopis Suku Maya Ditemukan di Bawah Rimbun Hutan Guatemala


Megalopis Suku Maya Ditemukan di Bawah Rimbun Hutan Guatemala
Para peneliti menggunakan teknologi laser untuk melihat di bawah kanopi hutan di Guatemala. FOTO/WILD BLUE MEDIA CHANNEL 4


Lebih dari 60.000 struktur Maya yang sebelumnya belum diketahui, termasuk piramida, istana, dan jalan, telah ditemukan di bawah rimbun hutan di Guatemala. Penemuan ini merupakan terobosan besar.

Para peneliti menggunakan teknologi laser untuk melihat di bawah kanopi hutan di Peten, wilayah yang dekat dengan kota-kota Maya yang telah terkenal. Laser mengungkap sisa-sisa megalopolis (wilayah berpenduduk padat yang berpusat pada satu kota besar atau beberapa kota besar) pra-Kolumbia yang jauh lebih rumit dibandingkan sebelumnya yang diyakini para pakar.

Penemuan itu pun menunjukkan Amerika Tengah memiliki satu peradaban yang puncaknya 1.500 tahun lalu, lebih canggih dibandingkan dengan budaya Yunani kuno dan China. Lokasi itu mungkin menjadi rumah bagi lebih 15 juta orang dan memiliki dinding pertahanan serta benteng yang menunjukkan perang telah terjadi selama keberadaan mereka dan tidak hanya pada akhir peradaban itu.

"Saya pikir ini salah satu kemajuan terbesar dalam 150 tahun arkeologi Maya. Saya tahu ini terdengar hiperbola, tapi saat saya melihat citra Lidar, ini membuat air mata saya menetes," ujar Profesor Arkeologi dan Antropologi Stephen Houston di Universitas Brown pada BBC.

Para peneliti membuat penemuan itu menggunakan teknologi Lidar yang merupakan singkatan dari light detection and ranging. Pesawat dengan pemindai Lidar menghasilkan peta permukaan tiga dimensi menggunakan cahaya dalam bentuk sinyal laser yang dikaitkan dengan sistem GPS. Teknik ini memungkinkan para peneliti membuat peta tentang puluhan kota Maya baru yang tersembunyi di bawah rimbun daun hutan setelah ditinggalkan penghuni aslinya.

Seperti struktur yang belum diketahui sebelumnya, gambar ini juga menunjukkan jalanan mengaitkan pusat kota dan pinggiran kota. Mereka juga menemukan irigasi canggih dan sistem terasering yang mendukung pertanian untuk salah satu peradaban paling canggih di Mesoamerika. Suku Maya dikenal dalam kecanggihan matematika dan teknik yang memungkinkan mereka menyebar ke Amerika Tengah dan Meksiko Selatan.

"Sekarang tidak perlu lagi memotong hutan untuk melihat apa yang ada di bawahnya," ujar Marcello Canuto, salah satu pakar dalam tim tersebut.

Peneliti lain menambahkan, "Struktur benteng dan jalan besar mengungkap sejumlah modifikasi kondisi alam yang dibuat Maya pada skala yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya," kata Francisco Estrada-Belli dari Universitas Tulane. 




Credit  sindonews.com






Jumat, 29 Desember 2017

Terkucil di negaranya, Morales dekati AS terhadap Israel


Terkucil di negaranya, Morales dekati AS terhadap Israel
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Ibu Negara Melania Trump tiba untuk pelayanan gereja di The Church of Bethesda-By-The sea di Palm Beach, Florida, Amerika Serikat, Minggu (24/12/2017). (REUTERS/Carlos Barria)




Kota Guatemala (CB) - Pengakuan Guatemala atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel melekatkan Presiden Jimmy Morales lebih dekat ke Amerika Serikat saat sahamnya jatuh di negerinya karena tuduhan korupsi, yang diajukan penyelidik didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menentang penolakan luar biasa dunia atas keputusan Presiden Donald Trump memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, Guatemala dan Honduras adalah negara di Amerika pendukungnya dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB pada pekan lalu.

Sesudah semakin terkucil di negaranya, Morales menyenangkan teman di Washington dengan menyelaraskan dirinya dengan Trump, meskipun ia menghadapi serangan balasan dari negara Arab, yang mengimpor kapulaga, bumbu mahal dari Guatemala.

Morales pada malam Natal mengatakan akan mengikuti Trump untuk memindahkan kedutaan Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Ini adalah cara yang sangat murah bagi Morales untuk memastikan bahwa pemerintahan Trump ada di pihaknya," kata Michael Shifter, kepala Dialog Antar-Amerika, sebuah kelompok pemikir yang berbasis di Washington.

Morales terkenal tidak asing dalam kontroversi internasional.

Pada Agustus, mantan komedian televisi tersebut mendapat kecaman dari PBB, Uni Eropa dan duta besar AS di Guatemala karena telah berusaha mengusir seorang jaksa yang didukung PBB yang berusaha untuk mengadili dirinya karena tuduhan korupsi.

Investigasi dugaan pembiayaan kampanye terlarang - yang mengikuti penyelidikan gratifikasi terpisah pada anggota keluarga presiden - telah mengancam akan mengutuk Morales untuk melakukan pemakzulan.

Morales lolos dari nasib tersebut, namun dia harus mundur karena usahanya untuk mengeluarkan kepala Komisi Internasional Melawan Impunitas yang didukung PBB di Guatemala, dan wewenangnya telah digagalkan secara serius.

Morales, yang merupakan seorang penginjil Kristen, mengatakan bahwa kebijakan Israel adalah sebuah pendirian yang berprinsip dalam tradisi dukungan lama Guatemala terhadap Israel.

"Meskipun hanya ada sembilan dari kami di seluruh dunia yang mendukung (posisi Trump), kami benar-benar yakin ini adalah jalan yang benar," kata Morales tentang pemungutan suara PBB. Delapan negara lainnya menentang resolusi tersebut yang mengecam AS karena mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan 128 negara telah memilih resolusi tersebut.

Status Yerusalem adalah salah satu hambatan paling besar dalam kesepakatan perdamaian Israel-Palestina. Warga Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka, demikian Reuters.





Credit  antaranews.com





Guatemala Pindahkan Kedutaan, Arab Ancam Boikot Kapulaga


Guatemala Pindahkan Kedutaan,  Arab Ancam Boikot Kapulaga
Dunia Arab mengancam untuk memboikot kapulaga sebagai balasan atas keputusan Guatemala pindahkan kedubes ke Yerusalem. (AFP PHOTO / RODRIGO ARANGUA)



Jakarta, CB -- Dunia Arab dan muslim mengancam akan memboikot kapulaga asal Guatemala. Ancaman boikot itu dilontarkan setelah Guatemala pindahkan kedubes ke Yerusalem, mengikuti langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan setiap tahunnya, Guatemala mengekspor kapulaga senilai US$300 juta ke negara-negara Arab dan negara muslim lainnya. Kapulaga adalah bumbu utama dalam hidangan dan kopi Arab.

"Kami akan melakukan penilaian menyeluruh terhadap semua aliansi kami, dan akan mengevaluasi hubungan berdasarkan kepentingan bersama, dengan pandangan  pada siapa yang dengan tulus mendukung perdamaian di Palestina dan siapa yang menentang kepentingan nasional," kata Anees Sweidan, kepala hubungan luar negeri PLO, seperti dilaporkan Arab News, Kamis (21/12).


Mantan Wakil Presiden Guatemala, Edward Stein telah memperingatkan dampak boikot itu kepada 45 ribu petani kapulaga di negeri Amerika Latin tersebut.




Menurut PLO, Asosiasi Eksportir Guatemala telah mengirim surat kepada Kementerian Luar Negeri, meminta presiden membatalkan keputusan untuk pindahkan kedubes ke Yerusalem.

PLO telah mendesak Liga Arab untuk memboikot negara-negara yang memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Boikot semacam itu telah berhasil memaksa Guatemala mencabut keputusan serupa pada era 1990-an.

Kamis (21/12) lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang mengecam langkah Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Resolusi itu didukung oleh 128 negara, sembilan menolak dan 35 abstain. Guatemala termasuk salah satu negara yang menolak.

Pada Minggu (24/12), Presiden Jimmy Morales mengumumkan niat Guatemala pindahkan kedubes ke Yerusalem. Langkah itu tidak saja menuai kecaman dari banyak negara, termasuk Indonesia, Qatar dan Yordania, tetapi juga mendapat tanggapan negatif di dalam negeri. Morales dianggap menjilat Trump dan Israel untuk mempertahankan kekuasaan.




Credit  cnnindonesia.com





Kamis, 28 Desember 2017

Warga Guatemala Tolak Pemindahan Kedutaan ke Yerusalem


Warga Guatemala Tolak Pemindahan Kedutaan ke Yerusalem
Keputusan pemerintah Guatemala untuk memindahkan kedutaan mereka di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem ternyata mendapat tentangan dari masyarakat Guatemala. Foto/Istimewa


GUATEMALA CITY - Keputusan pemerintah Guatemala untuk memindahkan Kedutaan Besar mereka di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem ternyata mendapat tentangan dari masyarakat Guatemala. Banyak dari masyarakat Guatemala yang menyangkan dan menolak keputusan tersebut.

Menurut Departemen Urusan Ekspatriat Guatemala, awalnya penolakan terhadap keputusan pemindahaan kedutaan itu datang dari komunitas Palestina di Guatemala. Namun, lambat laun komunitas, dan kelompok lain di Guatemala mulai menyampaikan penolakan serupa.

Melasnir Fars News pada Rabu (27/12), kelompok-kelompok ini khawatir keputusan pemindahan kedutaan itu akan memberikan dampak buruk baik dari segi politik, ataupun ekonomi kepada Guatemala.

Penolakan tersebut juga datang dari sejumlah politisi, dan tokoh-tokoh masyarakat di negara itu. Salah satu tokoh yang bersuara kencang mengenai hal ini adalah mantan Wakil Presiden Guatemala, Eduardo Stein.

Stein, yang dilengserkan pada tahun 2014 karena diduga melakukan korupsi, menuturkan keputusan ini akan memiliki implikasi ekonomi yang besar bagi masyarakat Guatemala dan akan mempengaruhi lebih dari 45 ribu petani kapulaga di negara Amerika Tengah.

Kekwatiran serupa juga disampaikan oleh Presiden Uni Eksportir Guatemala. Presiden Uni Eksportir Guatemala bahkan telah menyampaikan Kementerian Luar Negeri Guatemala untuk membatalkan keputusan tersebut, demi kepentingan perekonomian Guatemala, karena negara-negara Islam dan Arab adalah salah satu pasar terbesar kapulaga dari Guatemala.

Sejatinya ini bukan kali pertama Guatemala mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan berencana menindahkan kedutaan ke Yerusalem. Pada masa pemerintahan Ramiro J Leon Carpio, tahun 1993 hingga 1996, Guatemala juga pernah menyatakan hal serupa. Namun, Carpio langsung membatalkan keputusan tersebut, setelah negara-negara Arab dan Islam menutup pintu mereka ke pasar Guatemala. 



Credit  sindonews.com


Ironi Presiden Guatemala yang akui Yerusalem milik Israel; dibelit korupsi



Ironi Presiden Guatemala yang akui Yerusalem milik Israel; dibelit korupsi
Presiden Guatemala Jimmy Morales (kiri) (REUTERS/Jorge Dan Lopez)




Jakarta (CB)- Pengakuan Guatemala bahwa Yerusalem ibu kota Israel membuat Presiden Jimmy Morales kian dekat dengan Amerika Serikat ketika citra pemerintahannya di dalam negeri merosot tajam karena kasus korupsi yang diselidiki para penyidik dukungan PBB.

Menolak arus beras dunia yang menolak keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem, Guatemala dan Honduras menjadi dua negara di benua Amerika yang mendukung Trump dalam voting resolusi Yerusalem oleh Majelis Umum PBB pekan lalu.

Kian terasing di dalam negeri, Morales menjadi mendapatkan sekutu di Washington dengan mendekatkan dirinya kepada Trump, kendati dia  mempertaruhkan nasib ekspor rempah-rempah kapulaga ke negara-negara Arab.

Pada Hari Natal dia menyatakan akan mengikuti Trump memindahkan kedutaan besar Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Ini adalah cara paling hemat bagi Morales demi memastikan pemerintahan Trump berada di pihaknya," kata Michael Shifter, kepala Dialog Antar-Amerika, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington.

Morales sendiri menjadi kontroversi internasional.

Agustus silam, mantan komedian televisi ini dikecam PBB, Uni Eropa dan duta besar AS di Guatemala karena mengusir jaksa sokongan PBB yang berusaha memenjarakannya dalam kasus korupsi.

Penyelidikan dugaan uang haram untuk kampanye pemilihan presiden yang disusul dengan penyelidikan-penyelidikan korupsi oleh anggota keluarganya. telah membuat Morales terancam dimakzulkan.

Morales selamat dari tuduhan ini tetapi dia terus bernafsu membubarkan Komisi Internasional Anti Impunitas di Guatemala, lembaga yang didukung kuat PBB. Akibatnya, pemerintahannya kembali dalam bahaya pemakzulan.

Kini dia merapat ke AS dengan mendukung Trump. Dukungan ini tidak tanpa alasan, malah lebih karena realitas politik yang dihadapi Morales.

Trump mengancam memangkas bantuan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB itu. Dan faktanya kebanyakan negara-negara di benua Amerika tidak terlalu tergantung kepada bantuan AS, kecuali Guatemala, Honduras dan El Salvador yang menentang resolusi PBB soal Yerusalem itu.

Guatemala bakal menerima bantuan 209 juta dolar AS, Honduras menerima bantuan 100 juta dolar dari AS tahun lalu, ditambah 75 juta dolar AS lainnya sebagai bantuan keamanan antara 2012 dan 2015.

Guatemala sendiri mendapatkan kiriman devisa yang banyak dari ratusan ribu tenaga kerjanya di AS yang kebanyakan ilegal dan terancam dideportasi Trump.  Kiriman uang mereka tahun ini mencapai 8 miliar dolar atau setara dengan tiga perempat APBN Guatemala.

Oleh karena itu, menurut Ricardo Barrero dari Central American Institute of Political Studies di Guatemala, dukungan Morales kepada Trump adalah demi menciptakan stabilitas politik yang saat ini tak bisa dia ciptakan.

Guatemala juga mendapatkan bantuan latihan militer yang penting dari Israel. Tetapi negara ini juga punya kepentingan di Timur Tengah di mana-negara Arab adalah pembeli terbesar produk rempah-rempahnya.

Mantan wakil presiden Guatemala Eduardo Stein pada pertengahan 1990-an juga pernah menyerukan pemindahan kedutaan besar negara ini di Israel ke Yerusalem, dipaksa menarik ucapannya itu setelah negara-negara Arab mengancam menghentikan impor rempah-rempah negeri ini yang biasa digunakan dalam kopi Arab.

"Sepertinya hal ini akan terjadi lagi," kata Stein, merujuk ancaman negara Arab menghentikan impor rempah-rempah Guatemala, seperti dikutip Reuters.




Credit  antaranews.com












Rabu, 27 Desember 2017

8 Fakta Mencengangkan Soal Guatemala, Negara Miskin yang Pilih Jadi 'Sahabat Sejati' Israel



8 Fakta Mencengangkan Soal Guatemala, Negara Miskin yang Pilih Jadi 'Sahabat Sejati' Israel
Guatemala, dulu bangsa besar, kini diterpa kriminalitas dan kemiskinan. 



CB - Nama Guatemala menyita perhatian dunia ketika negara anggota PBB mengambil voting soal Yerusalem, beberapa waktu lalu.
Guatemala, menjadi satu dari sedikit negara yang menyetujui klaim Amerika Serikat, soal Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Guatemala pun menegaskan keputusan itu, setelah Presiden mereka, Jimmy Morales mengeluarkan perintah untuk memindahkan kedutaan negaranya di Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Morales pun mengakui, bahwa Israel adalah negara sahabat sejati mereka, dan berharap hubungan kerjasama bisa berlanjut.
Keputusan Guatemala mendukung suara Trump, memang sangat wajar.
Selama ini, Amerika Serikat adalah donor terpenting bagi bantuan ke Guatemala, sebuah negara miskin di Amerika Tengah.
Dikutip dari listverse.com, berikut 8 fakta soal Guatemala yang mungkin belum anda ketahui :
1. Kartel Narkoba Berkuasa
Negara ini bisa dibilang menjadi surga kartel narkoba.
Otoritas Guatemala memang telah menggulung sejumlah gang narkoba kelas kakap, tapi kartel-kartel besar lainnya masih beroperasi.
Polisi menyita narkoba temuan.
Polisi menyita narkoba temuan. (Business Insider)
Masih ada gang narkoba keji seperti MS-13 atau Sinaloa asal Meksiko.
Penjual kokain dan mariyuana masih berkeliaran di jalanan.
2. Korupsi Tinggi

Sebagai negara miskin, angka korupsi di Guatemala sangat tinggi.
Bekas presiden Guatemala, Otto Perez Molina, terlibat dalam skandal suap dan korupsi.
Dia juga dituding tak segan membunuh lawan politik, bahkan pendeta-pendeta gereja.

3. Pembantaian
Kasus pembantaian etnis besar-besaran pernah terjadi di Guatemala.
Antara tahun 1981-1983, sebanyak 200.000 anggota suku Maya asli diburu, lantaran dicap melakukan tindakan kriminal dan dianggap ikut paham komunis.
Sebuah pasukan pemburu berkeliaran memburu mereka, dan tak segan langsung membunuh.

Pasukan ini ditengarai mendapat pasokan senjata dari pemerintah Amerika Serikat.

4. Diobok-obok Amerika
Amerika sempat mengintervensi Guatemala di tahun 1980-an dengan alasan melawan paham komunis.

Amerika pun mempersenjatai sejumlah orang yang ingin mengkudeta pemerintah resmi.
Negara pun akhirnya kisruh, dan terjadi perang saudara.

5. Negara Tua
Bangsa Guatemala sesungguhnya merupakan bangsa tua.
Daerah yang bernama Guatemala ini telah dihuni sejak 20.000 tahun yang lampau.
Banyaknya artefak dan peninggalan prasejarah Suku Maya jadi bukti.
Mereka sudah mengenal kalender dan waktu jauh di masa prasejarah.

Sayang, bangsa yang dulu besar ini kini mengalami kemunduran.
Suku Maya di masa pra sejarah.
Suku Maya di masa pra sejarah. (pinterest)
Setelah pelaut Spanyol datang, bangsa ini selalu berperang satu sama lain.
Orang Spanyol menganggap suku Maya asli sebagai budak.

Hal ini pun sampai sekarang masih terjadi.
Orang keturunan Spanyol ada di kasta hidup tinggi, sementara suku primitif malah di kasta rendah.
6. Perang Saudara
Guatemala adalah nama lain untuk perang saudara.
Konflik seakan tak pernah ada habisnya.
Sebanyak 200.000 orang Guatemala disebut tewas, sejak perang saudara berkecamuk dari tahun 1960 sampai 1996.
Isu terbesar perang saudara adalah perang antara pro dan anti paham komunis.
7. Lubang Raksasa
Salah satu fenomena alam dahsyat yang terjadi adalah munculnya petaka lubang raksasa di tengah kota Guatemala City.
Peristiwa ini terjadi pada 30 Mei 2010.
Lubang ini berdiameter 18 meter.
Lubang raksasa di Guatemala
Lubang raksasa di Guatemala (listverse.com)
Dalamnya, kira-kira sama dengan bangunan 30 lantai.
Sebuah gedung 3 lantai dan sebuah rumah lenyap ditelan lubang ini.
Satu orang meninggal dunia.
8. Negara Paling Menakutkan di Benua Amerika
Pencurian mobil, pemerkosa di siang hari, perampokan bersenjata api, atau polisi palsu yang tiba-tiba berjualan narkoba.
Sebut saja, semua kejahatan ada di siang bolongnya Guatemala.
Anggota Geng di Guatemala.
Anggota Geng di Guatemala. (The Gilded Passport)
Negara ini memang dikenal sebagai salah satu negara paling menakutkan di dunia.
Sebanyak 5.000 orang tewas karena kekerasan setiap tahunnya.




Credit  TRIBUNNEWS.COM




RI Kecam Rencana Guatemala Pindahkan Kedutaan ke Yerusalem


RI Kecam Rencana Guatemala Pindahkan Kedutaan ke Yerusalem
Indonesia mengecam keputusan Presiden Guatemala Jimmy Morales untuk memindahkan kedutaan di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. (AFP PHOTO / Jewel SAMAD)



Jakarta, CB -- Pemerintah Indonesia mengecam keputusan Guatemala yang berencana memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem mengikuti langkah Presiden AS Donald Trump mengakui kota suci tersebut sebagai ibu kota Israel.

"Indonesia mengecam keputusan Guatemala yang berencana memindahkan kedutaannya di Israel ke Yerusalem," demikian Kementerian Luar Negeri RI pada Selasa Malam lewat akun resmi Twitternya.

Keputusan tersebut dianggap tidak sesuai dengan hukum internasional mengenai status Yerusalem.


Kemlu RI menyatakan bahwa mempertahankan kesepakatan internasional terkait status quo Yerusalem adalah penting bagi tercapainya solusi dua negara dalam konflik Palestina-Israel.


Kota Yerusalem
Foto: REUTERS/Ronen Zvulun
Kota Yerusalem


Pada Minggu (24/12), Presiden Guatemala Jimmy Morales mengumumkan  bahwa dia telah memberikan instruksi untuk memindahkan kedutaannya di Israel ke Yerusalem, beberapa hari setelah pemerintahnya mendukung Amerika Serikat mengenai status kota tersebut.

Reuters melaporkan bahwa dalam sebuah kiriman singkat di akun Facebook resminya, Morales mengatakan bahwa dia memutuskan memindahkan kedutaannya tersebut dari Tel Aviv ke Yerusalem setelah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu (24/12).

Pada 6 Desember 2017,  Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, bertolak belakang dengan kebijakan luar negeri AS selama beberapa dekade. Keputusan tersebut membuat kemarahan dunia Arab serta sekutu-sekutunya di Barat.


Status Yerusalem merupakan salah satu halangan paling sulit untuk mencapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina, yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka. Sejak Perang Enam Hari pada 1967, Yerusalem Timur berada dalam jajahan Israel.

Masyarakat internasional tidak mengakui kedaulatan Israel atas seluruh kota tersebut, yang merupakan tempat suci bagi umat Islam, Yahudi dan Kristen. Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) No. 478 tahun 1980 mengecam klaim sepihak Israel atas Yerusalem sebagai ibu kotanya dan melarang negara-negara untuk membangun kedutaan di Yerusalem.

Pada Kamis, 128 negara menentang Trump dengan mendukung resolusi Majelis Umum PBB. Meski tidak mengikat, pengesahan Resolusi Majelis Umum itu menandakan penolakan terhadap langkah AS soal Yerusalem.




Guatemala dan negara tetangganya, Honduras, adalah dua dari sembilan negara yang bergabung dengan AS dan Israel yang menolak pengesahan resolusi tersebut. Lima lainnya, selain AS, Israel, Guatemala dan Honduras adalah Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Togo.

AS merupakan sumber bantuan penting bagi Guatemala dan Honduras, dan Trump telah mengancam akan memotong bantuan keuangan ke negara-negara yang mendukung resolusi PBB.


Credit  cnnindonesia.com



Palestina Kecam Sikap Guatemala Soal Yerusalem


Palestina Kecam Sikap Guatemala Soal Yerusalem
Issa Kassissieh, menggunakan kostum Santa Claus menunggangi unta saat membagikan pohon Natal pada warga di Kota Tua Yerusalem, 21 Desember 2017. Kassissieh melakukan ini bertujuan untuk menghilangkan beberapa ketegangan setelah Trump menjadikan Yerusalem jadi ibukota Israel. REUTERS

CB, Palestina -- Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam keputusan pemerintah Guatemala, yang mengumumkan bakal memindahkan kantor kedutaan-besarnya ke Kota Yerusalem mengikuti langkah Amerika Serikat.
Langkah Guatemala ini menyusul pengumuman Presiden AS, Donald Trump, pada Rabu, 6 Desember 2017, untuk memindahkan kantor kedubes AS dari Tel Aviv ke Kota Yerusalem. Trump juga menyebut status kota ini sebagai ibu kota Israel.

"Itu merupakan tindakan ilegal dan memalukan yang melanggar keinginan para pemimpin gereja di Yerusalem dan melanggar resolusi PBB yang mengutuk langkah itu," begitu pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina seperti dilansir Asharq Al Awsat, Senin, 25 Desember 2017.

Kementerian menyatakan tindakan Guatemala ini sebagai pelanggaran nyata dan sikap bermusuhan terhadap hak-hak bangsa Palestina dan hukum internasional. "Negara Palestina akan bertindak dengan mitra regional dan internasional untuk menolak keputusan ilegal ini," begitu pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Palestina.
Pengumuman Guatemala ini disampaikan beberapa hari setelah negara itu mendukung Amerika Serikat dalam pemungutan suara tidak mengikat di PBB mengenai status Kota Yerusalem, Kamis 21 Desember 2017. Resolusi PBB itu menganulir keputusan AS untuk mengubah status Kota Yerusalem menjadi ibu kota Israel. Resolusi juga melarang pemindahan misi diplomatik ke Kota Yerusalem.
Dalam proses voting, resolusi ini mendapat dukungan 128 negara dengan empat diantaranya merupakan anggota Dewan Keamanan PBB seperti Cina, Rusia, Inggris dan Perancis. Amerika Serikat, Guatemala dan tujuh negara lainnya menolak resolusi ini. 35 negara memilih abstain seperti Kanada dan Meksiko. Lalu 21 negara absen dalam proses voting.
Presiden Guatemala, Jimmy Morales, mengatakan,"Hari ini, saya berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam suasana hubungan yang sangat baik. Kami mendukung berdirinya negara Israel." Pernyataan ini diunggah di akun Facebook dan dilansir media Al Jazeera. Sebelumnya, Morales mengatakan kepada media di Guatemala bahwa negaranya secara historis adalah pendukung Israel.
"Kami adalah sekutu setia Israel sejak 70 tahun silam," ucapnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon, menyambut baik niat pemindahan kedutan besar Guatemala ke Yerussalem. "Itu sebuah keputusan yang sangat penting," tulis Nahshon di akun Twitternya.




Credit  TEMPO.CO


Qatar Desak Guatemala Batalkan Pemindahan Kedutaan ke Yerusalem


Qatar Desak Guatemala Batalkan Pemindahan Kedutaan ke Yerusalem
Qatar melemparkan kecaman keras atas keputusan Guatemala untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Foto/Istimewa


DOHA - Qatar melemparkan kecaman keras atas keputusan Guatemala untuk mengikuti langkah Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan memindahkan Kedutaan Besarnya ke Yerusalem. Doha kemudian mendesak Guatemala untuk segera membatalkan keputusan tersebut.

Kementerian Luar Negrei Qatar menuturkan, keputusan Guatemala tersebut tidak sesuai dengan resolusi yang disetujui oleh Majelis Umum PBB. Karenanya, Qatar meminta Guatemala segera menarik keputusan itu.

"Keputusan Guatemala bertentangan dengan konsensus internasional yang diwujudkan oleh penolakan Majelis Umum PBB untuk menolak pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan seruan majelis tersebut untuk menahan diri untuk tidak mendirikan misi diplomatik di sana," kata Kemlu Qatar.

"Kami menganggap keputusan oleh Guatemala ini  batal demi hukum dan tidak memiliki makna hukum. Kami berharap bahwa Guatemala akan mempertimbangkan kembali langkah tersebut," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Anadolu Agency pada Selasa (26/12).

Kecaman dan desakan serupa juga disampaikan oleh Yordania, dengan menggambarkan keputusan Guatemala sebagai tindakan provokatif, dan pelanggaran terhadap resolusi Majelis Umum PBB.

"Kami menolak keputusan Guatemala untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Wilayah yang diduduki Israel, yakni Yerusalem adalah ibu kota negara Palestina, sesuai dengan pada perbatasan pra-1967, tetap merupakan prasyarat untuk mencapai perdamaian di wilayah ini," kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman al-Safad. 


Credit  sindonews.com


Qatar dan Yordania Minta Guatemala Tarik Keputusannya


Jerusalem
Jerusalem



CB, DOHA - Qatar dan Yordania mengecam keputusan Guatemala untuk memindahkan Kedutaan Besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Mereka meminta Guatemala segera menarik keputusan itu karena bertentangan dengan seruan Majelis Umum PBB.
"Keputusan Guatemala bertentangan dengan konsensus internasional yang diwujudkan dalam keputusan Majelis Umum PBB yang menolak pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel [oleh AS] dan seruan majelis tersebut untuk menahan diri untuk tidak mendirikan misi diplomatik di sana," ujar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Qatar dalam sebuah pernyataan, Selasa (26/12).
 
"Kami menganggap keputusan [Guatemala] ini batal demi hukum dan tidak memiliki makna hukum," tambahnya. Kemenlu Qatar berharap Guatemala dapat mempertimbangkan keputusan tersebut.
 
Sementara Yordania menggambarkan keputusan Guatemala itu sebagai tindakan provokatif dan pelanggaran terhadap resolusi internasional. "Kami menolak keputusan Guatemala untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem," ujar Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman al-Safadi, pada Senin (25/12) malam, dikutip Anadolu.
 
"Yerusalem yang diduduki [Israel] adalah ibu kota negara Palestina, yang pendiriannya, pada perbatasan 1967, tetap merupakan prasyarat untuk mencapai perdamaian di wilayah ini," tambah Safadi.
 
Pada Ahad (25/12), setelah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Guatemala Jimmy Morales mengumumkan negaranya akan memindahkan Kedutaan Besar untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keesokan harinya, Kemenlu Palestina mengecam tindakan tersebut dan menganggapnya sebagai tindakan yang tidak terhormat.
 
Pernyataan Morales disampaikan sekitar tiga pekan setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pekan lalu, Majelis Umum PBB telah mengadopsi sebuah resolusi yang meminta AS untuk menarik pengakuannya atas kota tersebut sebagai ibu kota Israel.
 
Sebanyak 128 negara anggota PBB memilih untuk mendukung resolusi tersebut. Namun ada sembilan negara yang menentangnya, termasuk Guatemala, dan 35 negara yang abstain. Sementara 21 negara anggota tidak memberikan surat suara.
 
Tidak seperti resolusi yang diadopsi oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi Majelis Umum PBB dianggap tidak mengikat.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID









Ikuti AS, Guatemala Pindahkan Kedubes ke Yerusalem


Foto bertanggal 28 November 2016 memperlihatkan Presiden Guatemala Jimmy Morales (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan) dalam sebuah perjanjian bilateral.
Foto bertanggal 28 November 2016 memperlihatkan Presiden Guatemala Jimmy Morales (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan) dalam sebuah perjanjian bilateral.(ABIR SULTAN/POOL/AFP)




GUATEMALA CITY, CB - Guatemala mengikuti jejak Amerika Serikat (AS) yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Presiden Guatemela, Jimmy Morales, dalam postingan di Facebook Minggu (24/12/2017) menyatakan bakal memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Dikutip dari Al Jazeera Senin (25/12/2017), Morales berujar dia telah menjalin percakapan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dalam perbincangan tersebut, topik yang paling hangat adalah rencana Morales memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem.

"Jadi, saya memberi tahu Anda sekalian, saya telah menginstruksikan jajaran menteri saya untuk berkoordinasi agar (pemindahan) cepat terjadi," kata Morales.
Ucapan Morales mendapat tanggapan dari Menteri Luar Negeri Emmanuel Nahshon.
Dalam kicauannya di Twitter, Nahshon menyatakan bahwa pernyataan Morales dianggap sebagai "keputusan penting".
"Kabar yang sangat indah! Viva la amistad Guatemala y Israel (Panjang umur persahabatan Guatemala dan Israel)," ujar Nahson.

Kamis (21/12/2017), Guatemala termasuk di antara sembilan negara termasuk AS dan Israel yang menolak rancangan resolusi terhadap Yerusalem dalam pertemuan Dewan Umum PBB.
Sejak awal, Morales menegaskan bahwa pemerintahannya sangat mendukung Israel.

"Selama 70 tahun kami selalu menjaga persahabatan kami dengan Israel, yang kami anggap sebagai sekutu terdekat kami," kata Morales.




Credit  kompas.com



Pindah ke Yerusalem, Guatemala Merasa Sekutu Israel

Pindah ke Yerusalem, Guatemala Merasa Sekutu Israel
Presiden Guatemala, Jimmy Morales. REUTERS/Jose Cabezas

CB, Jakarta - Guatemala mengumumkan rencana pemindahan kantor kedutaan besarnya ke Yerusalem sebagaimana dilakukan Amerika Serikat. Negeri itu merasa menjadi sekutu dan pendukung Israel.

Presiden Guatemala Jimmy Morales membenarkan bahwa negaranya segera merelokasi kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, Ahad, 24 Desember 2017. Pengumuman ini disampaikan beberapa hari setelah Guatemala mendukung Amerika Serikat dalam pemungutan suara not-binding di PBB mengenai Yerusalem, Kamis 21 Desember 2017.


PM Israel, Benjamin Netanyahu dan Presiden Guatemala, Jimmy Morales. timesofisrael.com
"Hari ini, saya berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam suasana hubungan yang sangat baik. Kami mendukung berdirinya negara israel," kata Morales yang menulis pernyataannya di laman Facebook, Ahad, seperti dikutip Al Jazeera.
Dia melanjutkan, "Salah satu pembicaraan saya yang paling penting adalah mengembalikan kedutaan besar Guatemala ke Yerusalem."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon, menyambut baik niat pemindahan kedutan besar Guatemala ke Yerussalem. "Itu sebuah keputusan yang sangat penting," tulis Nahshon di akun Twitter.


Warga Palestina penyandang disabilitas, Ibraheem Abu Thuraya, mengikuti demo menentang Yerusalem ibu kota Israel dari atas kursi roda. Ia kehilangan kakinya akibat serangan udara Israel ke Jalur Gaza, Palestina, pada 2008. REUTERS
Pada Kamis, 21 Desember 2017, Guatemala bersama Amerika Serikat, Israel, dan enam negara lainnya menentang resolusi dalam Sidang Umum PBB atas keputusan Washington yang memutuskan pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem "batal demi hukum".
Sebelumnya, Morales mengatakan kepada media di Guatemala bahwa negaranya secara historis adalah pendukung Israel. "Kami adalah sekutu setia Israel sejak 70 tahun silam," ucapnya.




Credit  TEMPO.CO