Tampilkan postingan dengan label IRAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IRAN. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2019

Trump Peringatkan Iran Akan Menderita Jika 'Berbuat Sesuatu'


Trump Peringatkan Iran Akan Menderita Jika 'Berbuat Sesuatu'
Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan Iran bahwa mereka akan menderita jika 'berbuat sesuatu' di tengah ketegangan kedua negara. (Reuters/Leah Millis)



Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memperingatkan Iran bahwa mereka akan menderita jika "berbuat sesuatu" di tengah ketegangan kedua negara.

"Saya mendengar sedikit cerita tentang Iran. Jika mereka berbuat sesuatu, itu akan menjadi kesalahan buruk. Jika mereka berbuat sesuatu, mereka akan sangat menderita," ujar Trump sebagaimana dikutip AFP, Senin (13/5).

Pernyataan ini dilontarkan di tengah ketegangan kedua negara, terutama setelah AS menerima laporan bahwa Iran merencanakan serangan ke militer AS di Teluk.

Ketegangan antara kedua negara kian tinggi setelah Presiden Iran, Hassan Rouhani, memberikan ultimatum kepada negara-negara penandatangan kesepakatan nuklir JCPOA, yaitu yakni Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia.


Melalui pidato di stasiun televisi nasional, Rouhani mengancam bakal kembali melakukan pengayaan uranium jika pihak penandatangan tidak melindungi Iran dari dera sanksi AS.

Perjanjian yang diteken pada 2015 lalu itu menyepakati bahwa negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran.

Sebagai balasan, Iran harus menyetop segala bentuk pengembangan senjata rudal dan nuklirnya, termasuk pengayaan uranium.

Namun, AS menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir itu pada Mei 2018 lalu dan kembali menerapkan sanksi atas Iran.



Credit  cnnindonesia.com



Bersitegang dengan Iran, Pentagon Berencana Kirim 120 Ribu Tentara


Bersitegang dengan Iran, Pentagon Berencana Kirim 120 Ribu Tentara
Bersitegang dengan Iran, Pentagon berencana mengirim 120 ribu pasukan ke Timur Tengah. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Pejabat Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Patrick Shanahan, berencana mengirimkan 120 ribu tentara ke Timur Tengah seandainya Iran menyerang pasukan Amerika atau mempercepat proses senjata nuklirnya. Rencana itu dipresentasikannya dalam sebuah pertemuan pembantu keamanan nasional utama Presiden Donald Trump Kamis lalu.

Revisi itu diperintahkan oleh penasihat keamanan nasional John Bolton. Mereka tidak menyerukan invasi darat ke Iran, yang akan membutuhkan lebih banyak pasukan, begitu laporan media AS New York Times.

Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan itu adalah Pejabat Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan; Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton; Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dunford; Direktur CIA Gina Haspel, dan Direktur Intelijen Nasional Dan Coats.

Pada pertemuan itu, Shanahan memberikan tinjauan umum tentang rencana Pentagon, kemudian berpaling kepada Dunford untuk merinci berbagai opsi pasukan. Opsi paling utama menyerukan pengerahan 120 ribu pasukan, yang akan membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk diselesaikan.

Jumlah pasukan yang diterjunkan mengejutkan banyak orang. Jumlah 120 ribu pasukan mendekati jumlah pasukan AS saat menginvasi Irak pada 2003 lalu.

Belum diketahui apakah Trump, yang telah berusaha untuk menarik AS dari konflik di Afghanistah dan Suriah, pada akhirnya akan mengirim begitu banyak pasukan ke Timur Tengah.

Juga tidak jelas apakah Trump telah diberitahu tentang jumlah pasukan atau rincian lainnya dalam rencana tersebut.

Trump sendiri saat ditanya tentang apakah dia mencari perubahan rezim di Iran mengatakan: "Kita akan melihat apa yang terjadi dengan Iran. Jika mereka melakukan sesuatu, itu akan menjadi kesalahan yang sangat buruk."

"Presiden sudah jelas, Amerika Serikat tidak mencari perang dengan Iran, dan dia terbuka untuk pembicaraan dengan para pemimpin Iran," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Garrett Marquis dalam sebuah email.

"Namun, opsi default Iran selama 40 tahun adalah kekerasan, dan kami siap membela personel dan kepentingan AS di kawasan (itu)," imbuhnya seperti dikutip dari New York Times, Selasa (14/5/2019).

Ketegangan antara Teheran dan Washington telah memanas sejak pemerintahan Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir internasional 2015 dengan Iran dan mulai memulihkan sanksi untuk meruntuhkan ekonomi Republik Islam tersebut.

Pentagon mengatakan pihaknya mempercepat penyebaran USS Abraham Lincoln dan mengirim pesawat pengebom strategis B-52 ke Timur Tengah setelah intelijen AS mengisyaratkan kemungkinan persiapan oleh Teheran untuk melancarkan serangan terhadap pasukan atau kepentingan AS di Timur Tengah. 




Credit  sindonews.com



Iran Desak Insiden Sabotase di Selat Hormuz Diusut


Iran Desak Insiden Sabotase di Selat Hormuz Diusut
Ilustrasi kapal tanker minyak. (REUTERS/Jean-Paul Pelissier)



Jakarta, CB -- Iran mendesak penyelidikan terhadap insiden sabotase dua kapal tanker Arab Saudi di perairan Fujairah, dekat Selat Hormuz, perairan Uni Emirat Arab, Minggu (12/5). Teheran menyebut insiden itu "mengkhawatirkan".

"Insiden di Laut Oman mengkhawatirkan dan disesalkan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi melalui pernyataan, Senin (13/5).


Mousavi juga menyerukan "penyelidikan" terhadap insiden tersebut. Ia juga memperingatkan sabotase itu ada kemungkinan merupakan perbuatan pihak asing untuk mengancam keamanan maritim di kawasan Teluk.

Mousavi menuturkan Iran "meminta klarifikasi" terkait insiden sabotase tersebut.


"Insiden itu memiliki dampak negatif pada keselamatan pengiriman dan keamanan maritim di kawasan Teluk," kata Mousavi seperti dikutip AFP.

Mousavi memperingatkan "plot-plot oleh pihak yang ingin mengganggu keamanan regional" dan menyerukan kewaspadaan negara di kawasan "menghadapi setiap rencana dari unsur asing."


Arab Saudi pada Minggu malam mengatakan dua kapal tankernya disabotase di perairan Fujairah hingga mengakibatkan kerusakan. Uni Emirat Arab juga membenarkan insiden itu dengan mengatakan empat kapal disabotase di perairan tersebut.

Hingga kini, belum jelas kronologi sabotase itu terjadi, begitu pula mengenai pihak-pihak yang terlibat insiden itu.

Insiden ini terjadi ketika relasi Amerika Serikat dan Iran tengah memanas menyusul sanksi yang kembali dijatuhkan Presiden Donald Trump kepada Teheran.

Pekan lalu, Iran juga mengancam melanjutkan kembali program nuklir dan pengayaan uraniumnya jika negara Eropa, yang terlibat dalam perjanjian nuklir 2015, tidak bisa membela Teheran dari sanksi AS.

Pelabuhan Fujairah merupakan satu-satunya pelabuhan di Uni Emirat Arab yang berada di dekat perairan Laut Arab. Wilayah yang bersebelahan dengan Selat Hormuz itu juga merupakan rute pengiriman minyak global dari perairan Teluk Arab.

Iran berulang kali mengancam akan menutup jalur tersebut jika terjadi konfrontasi militer dengan Amerika Serikat.


Credit  cnnindonesia.com


Rusia: Iran Berhak Tangguhkan Sebagian Kesepakatan Nuklir


Rusia: Iran Berhak Tangguhkan Sebagian Kesepakatan Nuklir
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, Iran memiliki hak untuk menangguhkan sebagian komitmennya di bawah kesepakatan nuklir. Foto/Reuters

MOSKOW - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, Iran memiliki hak untuk menangguhkan sebagian komitmennya di bawah Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), atau yang lebih dikenal dengan nama kesepakatan nuklir.

Berbicara saat melakukan pernyataan bersama dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi di Moskow, Lavrov mengatakan, Beijing dan Moskow yakin bahwa penting untuk mempertahankan perjanjian itu.

Lavrov kemudian mengatakan, dia dan Wang Yi juga telah menyetujui bahwa sanksi sepihak Washington terhadap Iran tidak sah dan bertujuan untuk menghentikan ekspor minyak dari negara tersebut.

"Kami juga mencatat bahwa Iran tetap berkomitmen pada JCPOA, tetapi mengharapkan hal yang sama dari rekan-rekan Eropa kami, yang juga harus melaksanakan bagian mereka dari perjanjian itu," ucap Lavrov, seperti dilansir Sputnik pada Senin (13/5).

Diplomat senior Rusia itu kemudian menyatakan harapan untuk melakukan pembicaraan "jujur" dengan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo tentang masalah ini. Keduanya dijadwalkan melakukan pertemuan di Sochi, hari ini.

Pernyataan Lavrov datang beberapa hari setelah Presiden Iran, Hassan Rouhani mengatakan bahwa ia telah memberi tahu para penandatangan kesepakatan itu, yakni Prancis, Rusia, China, Inggris dan Jerman bahwa mereka akan menangguhkan sebagian dari komitmen dalam kesepakatan yang diteken tahun 2015 lalu. 




Credit  sindonews.com


Iran: Kapal Induk AS di Teluk Dulu Ancaman, Kini Jadi Target!


Iran: Kapal Induk AS di Teluk Dulu Ancaman, Kini Jadi Target!
Kapal induk bertenaga nuklir Amerika Serikat, USS Abraham Lincoln. Foto/REUTERS

TEHERAN - Seorang komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran mengatakan kehadiran kapal induk Amerika Serikat (AS) di Teluk dulunya merupakan ancaman serius, namun kini justru jadi target dan peluang yang menguntungkan Teheran.

Komentar itu muncul setelah kapal induk USS Abraham Lincoln dan kelompok tempurnya dikerahkan Washington ke kawasan Teluk. Pengerahan kapal induk bersama pesawat-pesawat pengebom B-52 oleh Washington dengan dalih bahwa rezim Teheran diyakini akan menyerang pasukan Amerika Serikat dan kepentingannya di Timur Tengah.

USS Abraham Lincoln mengganti kapal induk lain yang dirotasi keluar dari Teluk bulan lalu.

"Sebuah kapal induk yang memiliki setidaknya 40 hingga 50 pesawat di atasnya dan 6.000 pasukan yang berkumpul di dalamnya merupakan ancaman serius bagi kami di masa lalu. Tapi sekarang ini adalah target dan ancaman telah beralih menjadi peluang," kata Kepala Angkatan Udara IRGC Iran, Jenderal Amir Ali Hajizadeh, seperti dikutip dari kantor berita ISNA, Senin (13/5/2019).

"Jika (Amerika) bergerak, kami akan memukul kepala mereka," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo yang berbicara kepada CNBC dalam sebuah wawancara yang dijadwalkan akan disiarkan pada hari Senin (13/5/2019), mengatakan bahwa pengerahan militer sebagai tanggapan terhadap informasi intelijen tentang potensi serangan Iran dan bertujuan untuk mencegah serta untuk menanggapi jika perlu.

"Kami sudah melihat pelaporan ini," kata Pompeo. "Ini nyata. Tampaknya ada sesuatu yang terkini, itulah hal yang kita khawatirkan hari ini," ujarnya.

"Dalam hal Iran memutuskan untuk mengejar kepentingan Amerika—apakah itu di Irak atau Afghanistan atau Yaman atau tempat lain di Timur Tengah—kami siap untuk menanggapi dengan cara yang tepat," katanya. "Tujuan kami adalah bukan perang."

William Fallon, mantan komandan Komando Pusat AS, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia tidak mengharapkan situasi antara Iran dan AS meningkat meskipun ada "hype media".

Fallon mengatakan ketegangan antara Teheran dan Washington telah berlangsung selama beberapa dekade dan dia tidak melihat hasil yang serius meskipun ada retorika yang memanas dari kedua belah pihak.

"Pelaporan yang konyol, membesar-besarkan situasi di Teluk ketika faktanya itu adalah skenario yang sama secara militer seperti yang terjadi selama bertahun-tahun," katanya.

"AS telah masuk dan keluar dari Teluk selama beberapa dekade dan berkomitmen untuk membuka (jalur) kapal yang bebas di Teluk," kata Fallon.

Parlemen Iran mengadakan sesi tertutup pada hari Minggu untuk membahas perkembangan di Teluk.

Heshmatollah Falahatpisheh, yang mengepalai komite parlemen untuk keamanan nasional dan kebijakan luar negeri, mengatakan kepada kantor berita resmi IRNA bahwa Iran tidak ingin memperdalam krisis.

Dia mengatakan posisi AS akan melemah seiring waktu, dan saat ini tidak ada dasar untuk negosiasi dengan Washington.

Mayor Jenderal Hossein Salami, yang ditunjuk sebagai kepala IRGC bulan lalu, mengatakan kepada parlemen bahwa Amerika Serikat telah memulai perang psikologis.

"Komandan Salami, dengan perhatian pada situasi di kawasan itu, mempresentasikan analisis bahwa Amerika telah memulai perang psikologis karena kedatangan dan kepergian militer mereka adalah hal yang normal," kata juru bicaranya Behrouz Nemati.




Credit  sindonews.com



Menlu Inggris dan Jerman Khawatir Konflik Amerika dan Iran


Perjanjian nuklir Iran melibatkan Inggris, Prancis, Jerman, Rusia dan Cina setelah Amerika Serikat menyatakan diri keluar dari perjanjian itu pada 2018. Ecfr.eu
Perjanjian nuklir Iran melibatkan Inggris, Prancis, Jerman, Rusia dan Cina setelah Amerika Serikat menyatakan diri keluar dari perjanjian itu pada 2018. Ecfr.eu

CBBrussel – Menteri Luar Negeri Inggris memperingatkan Iran dan Amerika Serikat bisa terlibat dalam konflik secara tidak sengaja di kawasan Teluk, yang sedang tidak stabil ini.

“Kami merasa khawatir soal konflik, mengenai risiko konflik.. eskalasi yang tidak sengaja,” kata Jeremy Hunt, menlu Inggris, kepada media di Brussel seperti dilansir Reuters pada Senin, 13 Mei 2019.
Hunt mengatakan ini saat Menlu Amerika Serikat, Mike Pompeo, sedang mengunjungi Brussel untuk bertemu dengan para pemimpin Uni Eropa membahas Iran.

Presiden AS, Donald Trump, sedang berusaha mengisolasi Teheran dengan memblokir ekspor minyak mentah Iran setelah menyatakan keluar dari perjanjian nuklir 2015. Trump juga meningkatkan tekanan militer terhadap Iran di kawasan Teluk dengan mengirim kapal induk dan pesawat pengebom B-52.

Sedangkan Uni Eropa, yang berbagi sebagian kekhawatiran AS mengenai Iran dan keterlibatan Teheran dalam konflik Suriah, masih mendukung perjanjian nuklir Iran 2015. UE beralasan ini dilakukan demi keamanan negara-negara Eropa.
Inggris, Jerman, dan Prancis merupakan tiga negara Eropa yang meneken perjanjian nuklir yang disebut Joint Comprehensive Plan of Action dengan Iran. Perjanjian ini juga di dukung Rusia dan Cina.
Pompeo menggelar pertemuan terpisah dengan ketiga negara Eropa. Dia juga membatalkan rencana kunjungan ke Moskow, Rusia.

Pemerintah Iran menyebut strategi Washington sebagai “perang urat syaraf” atau “psychological warfare”. Seorang komandan senior pasukan Garda Revolusi Iran menyebut negaranya akan melakukan retaliasi terhadap setiap tindakan agresif AS.
Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mengatakan kepada Pompeo pada pertemuan Senin kemarin bahwa,”Kami tidak ingin ini menjadi konflik militer (antara AS dan Iran).”
Maas juga mengatakan,”Eropa dan AS mengambil jalan yang berbeda.. mengambil arah yang berbeda.”

Sebelum bertemu Pompeo, Menlu Prancis, Jean-Yves Le Drian, mendesak negara Eropa bersatu mendukung perjanjian nuklir. Perjanjian ini juga difasilitasi oleh Uni Eropa.
Bagi Eropa, ketegangan dengan pemerintahan Trump menandai perbedaan yang mendalam dalam hubungan transatlantik, yang biasanya ditandai dengan koordinasi mengenai kebijakan untuk Timur Tengah. Namun, kedua pihak sempat berbeda pendapat tajam soal Perang Irak pada 2003.
Secara terpisah, Hunt, yang sempat bertemu dengan Maas dan Le Drian di sela-sela pertemuan rutin UE di Brussel, mengatakan khawatir dengan perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah jika Iran dapat memproduksi senjata itu.
“Kita perlu memastikan kita tidak membuat Iran kembali ke jalan re-nuklirisasi,” kata Hunt. Dia meminta semua pihak untuk bersikap tenang untuk bisa memahami pemikiran pihak lain.



Credit  tempo.co




Iran vonis warganya 10 tahun penjara lantaran jadi mata-mata Inggris


Iran vonis warganya 10 tahun penjara lantaran jadi mata-mata Inggris
Bendera dan peta Republik Islam Iran. (istimewa)




London (CB) - Pengadilan Iran pada Senin mengatakan telah memvonis warganya 10 tahun penjara lantaran menjadi mata-mata untuk Inggris, saat ketegangan antara Teheran dan sejumlah negara Barat atas kesepakatan nuklir dan program misil meningkat.

"Seorang warga Iran yang menjalankan tugas di meja Iran di British Council dan sedang bekerja sama dengan badan intelijen Inggris ... divonis 10 tahun penjara setelah adanya pengakuan yang jelas," kata juru bicara pengadilan Gholamhossein Esmaili, seperti dikutip Kantor Berita Fars.

Esmaili mengatakan seseorang yang divonis bertugas mengurusi proyek "infiltrasi budaya" di Iran. Pihaknya tidak mengidentifikasi orang tersebut dan tidak menyebutkan secara spesifik apakah ia juga berkewarganegaraan Inggris.

Kantor Luar Negeri Inggris tidak segera menanggapi email yang memintanya untuk berkomentar. British Council merupakan organisasi internasional Inggris untuk hubungan budaya.

Penangkapan warga Iran yang dituduh melakukan spionase meningkat sejak Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei tahun lalu mengatakan bahwa terdapat 'infiltrasi' agen Barat di negara tersebut.



Credit  antaranews.com


Senin, 13 Mei 2019

8 Senjata Perang dan Pasukan AS Penggertak Iran


8 Senjata Perang dan Pasukan AS Penggertak Iran
Sistem rudal Patriot Amerika Serikat. Foto/REUTERS

MANAMA - Dalam beberapa hari terakhir, Amerika Serikat (AS) telah mengumumkan penyebaran kekuatan militer ke Timur Tengah sebagai penggertak Iran setelah rezim Teheran dituduh akan menyerang pasukan Washington dan kepentingannya di Timur Tengah.

Pada hari Jumat, Departemen Pertahanan AS menyetujui penambahan kapal USS Arlington dan baterai sistem rudal Patriot untuk Komando Pusat AS yang telah diminta minggu lalu. Pasukan tambahan datang ketika ketegangan dengan Iran meningkat dan AS telah memperingatkan Iran bahwa setiap serangan oleh pasukan Iran atau proksinya akan ditanggapi dengan pembalasan yang tak henti-hentinya.

Berikut ini daftar pasukan dan peralatan perang yang telah dikerahkan AS di Timur Tengah, sebagaimana diulas Jerusalem Post, 12 Mei.

1. Kapal USS Arlington


Kapal berbobot 24.000 ton dan panjang 207 meter ini mulai ditugaskan untuk layanan militer pada tahun 2013. USS Arlington adalah kapal transportasi amfibi kelas San-Antonio. Kapal ini dirancang untuk mengangkut marinir AS, kendaraan dan pesawat terbang yang akan digunakan untuk mendukung serangan amfibi. Sebanyak 800 tentara dan selusin kendaraan dapat diangkut dengan kapak ini. USS bagian dari Armada ke-6 AS yang beroperasi di Atlantik dan Mediterania, dan diperintahkan untuk bergabung dengan kelompok tempur lain yang disebarkan di dekat Iran.

2. Unit Ekspedisi Kelautan ke-22

Elemen-elemen dari Unit Ekspedisi Kelautan (MEU) ke-22 juga dikirim. Mereka transit di Selat Hormuz dengan kapal amfibi Kearsarge.

3. Kapal ARG Kearsarge

Kelompok siap amfibi (ARG) yang dipimpin oleh kapal Kearsarge memasuki wilayah operasi Armada ke-6 pada bulan Desember dengan MEU dan selama beberapa bulan terakhir telah dikerahkan ke Teluk Persia. Kapal ini memiliki hingga 4.500 pelaut dan marinir di berbagai unitnya. Bagian dari unit tersebut, menurut Naval Today antara lain USS Arlington yang disebutkan di atas, kapal pendaratan dermaga USS Fort McHenry, skuadron helikopter, skuadron udara taktis dan kelompok naval beach.

4. USS McFaul dan USNS Alan Shepard

Kapal perusak USS McFaul dan kapal amunisi USNS Alan Shepard terdeteksi sudah berada di Selat Hormuz pada 7 Mei. Mereka sebelumnya berada di Laut Merah pada bulan April.

5. Pesawat Pengebom B-52

Dua pesawat B-52 mendarat di Qatar hari Kamis. Keduanya adalah bagian dari empat B-52 yang dikirim ke wilayah tersebut. Mereka terbang dari Pangkalan Angkatan Udara Barksdale di Louisiana dan didukung oleh dua KC-10 dari McGuire-Dix-Lakehurst di New Jersey. Mereka membentuk bagian dari gugus tugas pengeom Skuadron Bom ke-20 Barksdale.


6. Kapal Induk USS Abraham Lincoln

Kapal induk USS Abraham Lincoln dan kelompok tempurnya melewati Terusan Suez pekan lalu dalam perjalanan ke Teluk Persia. Bagian dari kelompok tempurnya adalah kapal USS Leyte Gulf dan sejumlah kapal perusak.

7. Sistem Rudal Patriot

Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan juga mengirim baterai sistem rudal Patriot untuk mendukung Komando Pusat AS di Timur Tengah.

8 Jet Tempur Siluman F-35

Pada pertengahan April, AS mengirim beberapa F-35 ke Uni Emirat Arab. Ini termasuk unit perawatan dan dukungan dari Fighter Wing 388 dan Air Force Fighter Wing 419.




Credit  sindonews.com




Iran Klaim Sudah Siap Serang Armada AS di Teluk


Iran Klaim Sudah Siap Serang Armada AS di Teluk
Ilustrasi Korps Garda Revolusi Iran. (AFP/Chavosh Homavandi)



Jakarta, CB -- Pasukan elite Iran, Korps Garda Revolusi, menyatakan siap meladeni gertakan Amerika Serikat yang mengirim armada tempur dan kapal induk ke kawasan Teluk. Mereka bahkan bakal menyerang jika AS mulai melakukan tindakan yang memprovokasi.

"Jika (AS) bergerak, kami akan serang mereka tepat di kepala," kata Kepala Divisi Ruang Angkasa Garda Revolusi Iran, Amirali Hajizadeh, seperti dilansir Reuters, Minggu (12/5).

Hajizadeh menyatakan keberadaan armada tempur AS di kawasan Teluk justru kesempatan besar untuk dimanfaatkan. Menurut mereka, di masa lalu kekuatan itu memang menjadi ancaman.


"Sebuah kapal induk bisa membawa 40 sampai 50 pesawat tempur dan 6000 pasukan yang menjadi ancaman di masa lalu, tetapi hal itu kini berubah menjadi kesempatan," ujar Hajizadeh.


Sedangkan Israel juga cemas dengan tensi ketegangan yang terus meningkat antara Iran dan AS. Mereka menyatakan Iran bisa saja menyerang Iran secara langsung atau melalui perpanjangan tangan (proxy) jika perseteruan itu tidak juga menemukan jalan keluar.

"Jika ada gesekan antara Iran dan AS, atau Iran dan negara tetangganya, kemungkinan mereka akan meminta Hizbullah di Libanon dan Jihad Islam di Jalur Gaza sebagai perpanjangan tangan untuk menyerang Israel," kata Menteri Energi Israel, Yuval Steinitz.

Iran mendukung penuh kelompok Hizbullah dan Jihad Islam. Israel sampai saat ini masih menyembunyikan strategi mereka jika Iran mulai bergerak.

Sumber pejabat AS mereka berniat mengirim pesawat pembom jarak jauh B-52 ke Timur Tengah. Di samping itu, mereka juga mempertimbangkan menempatkan perangkat rudal darat ke udara, MIM-104 atau dijuluki Patriot, ke kawasan itu.


Menurut informasi yang didapat AS, militer Iran tengah melengkapi sejumlah kapal angkatan laut mereka dengan rudal dan ditempatkan di lepas pantai. Tindakan itu dianggap AS sebagai persiapan Iran untuk menyerang.

Pemerintah Iran menganggap langkah Amerika Serikat keliru dengan memutuskan mengirim armada kapal induk dan pesawat pembom ke Timur Tengah. Mereka menyatakan alasan yang digunakan dengan menyatakan Iran seolah-olah mengancam keberadaan pasukan AS dan sekutunya di kawasan itu tidak tepat.

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, John Bolton, mengklaim hal itu dilakukan untuk menekan Iran supaya tidak macam-macam dengan pasukan dan sekutu AS di Timur Tengah, jika tidak ingin diserbu.

Hal ini semakin memperuncing perseteruan di antara kedua negara.

Presiden AS, Donald Trump, tahun lalu memutuskan membatalkan sepihak kesepakatan nuklir dengan Iran. Dia berdalih Iran tetap mengembangkan program persenjataan peluru kendali mereka.

Trump juga memasukkan Korps Garda Revolusi Iran ke dalam daftar kelompok teroris. Beberapa waktu lalu Trump juga menerapkan sanksi kepada negara-negara yang masih membeli minyak dari Iran.

Iran menyatakan tidak bersedia tunduk atas permintaan AS untuk menghentikan program pengembangan peluru kendali. Akan tetapi, diperkirakan perekonomian mereka akan kembali terpukul dengan penerapan sanksi pembelian minyak.





Credit  cnnindonesia.com



Pompeo: AS Tidak Ingin Perang dengan Iran


Pompeo: AS Tidak Ingin Perang dengan Iran
Pompeo mengatakan, Washington tidak ingin berperang dengan Iran dan menuturkan bahwa Washington menyambut kesempatan untuk bernegosiasi dengan Teheran. Foto/Reuters

WASHINGTON - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo mengatakan, Washington tidak ingin berperang dengan Iran. Pompeo mengatakan, AS menyambut kesempatan untuk bernegosiasi dengan Teheran.

Berbicara saat melakukan wawancara dengan CNBC, Pompeo mencatat bahwa ia melihat peningkatan ancaman dari Iran dan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump memperkuat kapasitasnya untuk menanggapi setiap tindakan ofensif dari Iran. Untuk itulah, lanjut Pompeo, mengapa AS memutuskan untuk mengerahkan kelompok kapal induk dan satuan tugas pembom ke Timur Tengah.

"Kami telah melakukan semua hal yang benar untuk meningkatkan postur keamanan kami, semampu kami," kata Pompeo dalam wawancara tersebut, seperti dilansir Sputnik pada Minggu (12/5).

"Tetapi, kami juga ingin memastikan bahwa kami memiliki pasukan pencegah di tempat, sehingga jika Iran memutuskan untuk datang setelah kepentingan Amerika, apakah itu di Irak, atau Afghanistan, atau Yaman, atau tempat mana pun di Timur Tengah, kami siap untuk menanggapi mereka dengan cara yang tepat," sambungnya.

Pada saat yang sama, Pompeo berpendapat, bahwa meskipun kehadiran militer lebih besar di AS di Timur Tengah, Washington tidak mencari perang dengan Teheran.

"Kami tidak akan salah perhitungan, tujuan kami bukan perang, tujuan kami adalah perubahan perilaku kepemimpinan Iran. Kami berharap rakyat Iran akan mendapatkan apa yang akhirnya mereka inginkan, dan apa yang pantas mereka dapatkan. Pasukan yang kami siapkan, pasukan yang pernah kami miliki di wilayah ini sebelumnya. Anda tahu, kami sering memiliki kapal induk di Teluk Persia - tetapi presiden ingin memastikan bahwa, jika terjadi sesuatu, kami siap untuk menanggapinya dengan cara yang tepat," ungkapnya.

Pompeo menyoroti bahwa ia juga menyiapkan pendekatan diplomatik, sehingga Trump memiliki pilihan jika Iran membuat keputusan yang buruk. Namun, resolusi diplomatik tampaknya bukan satu-satunya pilihan.

"Serangan terhadap kepentingan AS dari pasukan yang dipimpin Iran, apakah itu milik Iran atau entitas yang dikendalikan oleh Iran, kami akan meminta pertanggungjawaban pihak yang bertanggung jawab. Trump telah sangat jelas tentang hal itu, tanggapan kami akan sesuai. Iran adalah pengaruh destabilisasi utama di Timur Tengah, dan kami bertujuan untuk memperbaikinya," tukasnya.




Credit  sindonews.com


Komandan IRGC: AS mulai jalankan perang urat saraf


Komandan IRGC: AS mulai jalankan perang urat saraf
Kapal induk Nimitz USS Abraham Lincoln (CVN 72) melakukan transit di Selat Gibraltar, masuk ke Laut Mediterania saat melanjutkan operasi Armada ke-6 di daerah yang menjadi tanggung jawabnya dalam foto tanggal 13 April 2019 yang disediakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat. ANTARA FOTO/U.S. Navy/Mass Communication Specialist 2nd Class Clint Davis/Handout via REUTERS/wsj/cfo




Jenewa (CB) - Amerika Serikat mulai melancarkan perang urat saraf di kawasan Timur Tengah, kata komandan pasukan elit Pengawal Revolusi Iran (IRGC) dalam sidang parlemen Minggu.

Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara parlemen.

Militer AS telah mengirim pasukan, termasuk kapal induk dan sejumlah pembom B-52 ke Timur Tengah guna memerangi apa yang menurut pemerintah Presiden Donald Trump sebagai "indikasi jelas" ancaman dari Iran untuk pasukan AS di wilayah tersebut.

Kapal induk USS Abraham Lincoln menggantikan kapal induk lain yang pergi meninggalkan Teluk bulan lalu.

"Komandan Salami, yang mencurahkan perhatiannya pada situasi di kawasan ini, memberikan analisis bahwa pihak Amerika mulai menjalankan perang urat saraf karena baginya kedatangan dan kepulangan militer mereka adalah hal biasa," kata juru bicara pimpinan parlemen Behrouz Nemati, menyimpulkan komentar komandan Pengawal, dalam situs berita ICANA.

Mayor Jenderal Hossein Salami bulan lalu ditunjuk sebagai kepala Pengawal Revolusi Iran.




Credit  antaranews.com


Setelah Kapal Induk, AS akan Kerahkan Rudal Patriot ke Timur Tengah


Setelah Kapal Induk, AS akan Kerahkan Rudal Patriot ke Timur Tengah
Kementerian Pertahanan AS mengatakan, Menteri Pertahanan sementara AS, Patrick Shanahan telah menyetujui pengerahan rudal Patriot baru ke Timur Tengah. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengatakan, Menteri Pertahanan sementara AS, Patrick Shanahan telah menyetujui pengerahan rudal Patriot baru ke Timur Tengah. Ini adalah langkah terbaru AS, setelah sebelumnya mengerahkan kapal induk dan bomber ke kawasan itu, untuk menghalau ancaman Iran.

"Menteri Pertahanan sementara telah menyetujui pergerakan USS Arlington (LPD-24) dan rudal Patriot ke Komando Sentral AS (CENTCOM) sebagai bagian dari permintaan asli pasukan tersebut untuk pasukan mulai awal pekan ini," kata kementerian itu, seperti dilansir Al Arabiya pada Minggu (12/5).

USS Arlington adalah kapal kelas San Antonio yang mengangkut Marinir AS, kendaraan amfibi, pesawat pendarat konvensional dengan kemampuan untuk mendukung serangan amfibi, operasi khusus, atau misi perang ekspedisi.

"Aset-aset ini akan bergabung dengan Grup Serangan Kapal Induk Abraham Lincoln dan satuan tugas pembom Angkatan Udara AS di kawasan Timur Tengah sebagai tanggapan atas indikasi kesiapan Iran yang meningkat untuk melakukan operasi ofensif terhadap pasukan AS dan kepentingan kami," sambungnya.

Kementerian itu kemudian mengatakan bahwa mereka akan terus memantau dengan cermat kegiatan rezim Iran, militer dan proksi mereka. Mereka mengatakan karena keamanan operasional, pihaknya tidak akan membahas jadwal atau lokasi penempatan pasukan AS di Timur Tengah.

"AS tidak mencari konflik dengan Iran, tetapi kami bersikap dan siap untuk membela pasukan dan kepentingan AS di wilayah tersebut," tukasnya. 





Credit  sindonews.com




Israel: Jika Ketegangan AS-Iran Meningkat, Tel Aviv Bisa Terdampak


Israel: Jika Ketegangan AS-Iran Meningkat, Tel Aviv Bisa Terdampak
Menteri Energi Israel, Yuval Steinitz peringatkan kemungkinan adanya serangan langsung atau yang dilakukan proksi Iran terhadap Israel, jika ketengan AS-Iran meningkat. Foto/Istimewa

TEL AVIV - Menteri Energi Israel, Yuval Steinitz memperingatkan kemungkinan adanya serangan langsung atau yang dilakukan proksi Iran terhadap Israel, jika pertikaian antara Teheran dan Washington meningkat. Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran meningkat, setelah Washington mengerahkan kapal induk dan bomber ke Timur Tengah.

Berbicara saat melakukan wawancara dengan televisi Israel, Ynet, Steinitz, seperti dilansir Reuters pada Minggu (12/5), ia mengatakan situasi di Teluk saat ini terus memanas dan bisa meledak kapan pun.

"Jika ada semacam konflik besar antara Iran dan AS, antara Iran dan tetangga-tetangganya, saya tidak mengesampingkan bahwa mereka akan mengaktifkan Hizbullah dan Jihad Islam dari Gaza, atau bahkan bahwa mereka akan mencoba langsung menembakkan rudal dari Iran ke Israel," ucap Steinitz.

Terkait dengan Iran dan AS, sebelumnya Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan, Washington tidak ingin berperang dengan Iran. Pompeo mengatakan, AS menyambut kesempatan untuk bernegosiasi dengan Teheran.




Pompeo mencatat bahwa ia melihat peningkatan ancaman dari Iran dan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump memperkuat kapasitasnya untuk menanggapi setiap tindakan ofensif dari Iran. Untuk itulah, lanjut Pompeo, mengapa AS memutuskan untuk mengerahkan kelompok kapal induk dan satuan tugas pembom ke Timur Tengah.

Pada saat yang sama, Pompeo berpendapat, bahwa meskipun kehadiran militer lebih besar di AS di Timur Tengah, Washington tidak mencari perang dengan Teheran.

"Kami tidak akan salah perhitungan, tujuan kami bukan perang, tujuan kami adalah perubahan perilaku kepemimpinan Iran. Kami berharap rakyat Iran akan mendapatkan apa yang akhirnya mereka inginkan, dan apa yang pantas mereka dapatkan. Pasukan yang kami siapkan, pasukan yang pernah kami miliki di wilayah ini sebelumnya. Anda tahu, kami sering memiliki kapal induk di Teluk Persia - tetapi presiden ingin memastikan bahwa, jika terjadi sesuatu, kami siap untuk menanggapinya dengan cara yang tepat," ungkapnya. 




Credit  sindonews.com




Kamis, 09 Mei 2019

Kuatkan Gertakan pada Iran, AS Kerahkan 4 Bomber B-52


Kuatkan Gertakan pada Iran, AS Kerahkan 4 Bomber B-52
Pesawat pengebom strategis B-52 Amerika Serikat. Foto/REUTERS/DarrenStaples/File Photo

WASHINGTON - Seorang pejabat Pentagon mengungkap ada empat pesawat pengebom (bomber) strategis B-52 Amerika Serikat (AS) yang dikerahkan ke Timur Tengah untuk menambah kekuatan gertakan terhadap rezim Iran. Pengerahan pesawat-pesawat pembom bersamaan dengan pengiriman kapal Kelompok Tempur Kapal Induk USS Abraham Lincoln.

Mengutip CBS News, Komando Pusat (CENTCOM) militer AS juga diperkirakan akan meminta pasukan tambahan, termasuk baterai sistem rudal pertahanan Patriot.

Dua dari empat bomber B-52 lepas landas dari Pangkalan Angkatan Udara Barksdale di Louisiana pada hari Selasa. Keduanya, dijadwalkan tiba di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar pada hari Rabu (8/5/2019). Keberadaan dua bomber lainnya tidak diungkap militer Amerika Serikat.

"AS telah mendeteksi sejumlah persiapan untuk kemungkinan serangan terhadap pasukan AS di laut dan di darat," kata pejabat Pentagon yang berbicara dalam kondisi anonim kepada CBS News merujuk pada ancaman serangan Iran yang dia sebut nyata.

"Ada lebih dari satu jalur serangan atau kemungkinan serangan yang kami lacak," lanjut dia. Jumlah bomber B-52 yang dikerahkan kemungkinan bisa bertambah lagi. Pesawat pengebom itu memiliki kemampuan untuk menjatuhkan bom nuklir.

Juru bicara CENTCOM Kapten Bill Urban membenarkan bahwa satuan tugas pengebom yang dikerahkan terdiri dari B-52.

"Komando Pusat AS terus melacak sejumlah arus ancaman yang dapat dipercaya yang berasal dari rezim di Iran di seluruh wilayah tanggung jawab CENTCOM," kata Kapten Urban.

Para pejabat AS lainnya kepada Reuters mengatakan informasi intelijen menyebut ancaman spesifik dan kredibel mengarah pada pasukan AS di Irak, Suriah, dan wilayah yang lebih luas.

Menurut salah satu pejabat AS indikasi bahwa Iran akan melakukan serangan terhadap pasukan AS dan kepentingannya di Timur Tengah adalah dengan memindahkan rudal balistik jarak pendek di kapal-kapal di wilayah tersebut.

Awal mula pengerahan Kelompok Tempur Kapal Induk USS Abraham Lincoln diumumkan Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton pada hari Minggu lalu. Bolton mengatakan gerakan itu sebagai respons terhadap sejumlah indikasi dan peringatan yang meresahkan dan meningkat oleh rezim Iran.

"Amerika Serikat tidak mencari perang dengan rezim Iran, tetapi kami sepenuhnya siap untuk menanggapi serangan apa pun, apakah dengan wakil, Korps Pengawal Revolusi Islam, atau pasukan reguler Iran," kata Bolton.

Iran sebelumnya meremahkan pengerahan kapal induk AS yang diumumkan Bolton sebagai pertunjukan kedaluwarsa.

"Pernyataan Bolton adalah penggunaan pertunjukan kedaluwarsa untuk perang psikologis," juru bicara Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Keyvan Khosravi.

Khosravi mengatakan bahwa angkatan bersenjata Iran telah mengamati kapal induk yang memasuki Laut Mediterania 21 hari yang lalu.

"Bolton kurang memiliki pemahaman militer dan keamanan dan pernyataannya sebagian besar dimaksudkan untuk menarik perhatian pada dirinya sendiri," ujar Khosravi. 





Credit  sindonews.com




Sekjen PBB berharap kesepakatan nuklir Iran dapat diselamatkan


Sekjen PBB berharap kesepakatan nuklir Iran dapat diselamatkan
Peta fasilitas nuklir Iran. (iranreview.org) (Istimewa)




Washington (CB) - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berharap kesepakatan nuklir Iran dapat diselamatkan, kata juru bicaranya pada Rabu (8/5), setelah Teheran mengancam akan keluar dari kesepakatan 2015 tersebut.

"Sekretaris Jenderal terus kembali menyatakan bahwa Rencana Aksi Gabungan Menyeluruh (JCPOA) merupakan prestasi besar dalam anti-penyebaran nuklir dan diplomasi dan telah memberi sumbangan bagi ekamanan serta perdamaian regional dan internasional," kata Farhan Haq dalam satu taklimat.

Kesepakatan bersejarah itu antara Iran kelompok negara P5+1 -- kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman-- memberlakukan pengekangan ketat atas program nuklir Iran sebagai imbalan bagi pencabutan sanksi lama AS.

Presiden Iran Hassan Rouhani pada Rabu mengancam akan keluar dari kesepakatan tersebut dalam waktu 60 hari jika kepentingan Teheran tidak dilindungi.

Iran juga bersiap melanjutkan kegiatan pengayaan uraniumnya kapan saja diperlukan, kata Kepala Badan Tenaga Atom Iran Ali Akbar Salehi.

"(Guterres) sangat berharap bahwa Rencana Aksi Gabungan Menyeluruh dapat dipelihara," kata Haq, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.

Tahun lalu, Presiden AS Donald Trump membawa Washington ke luar dari kesepakatan nuklir itu, dan apa yang mengikuti adalah kegiatan "tekanan maksimal", yaitu pemerintah Trump menjatuhkan kembali sanksi ekonomi atas sektor energi dan perbankan Iran. Washington juga mengakhiri keringanan sanksi buat negara yang membeli minyak Iran.




Credit  antaranews.com



Kremlin Salahkan AS Jika Iran Mundur dari Kesepakatan Nuklir


Para teknisi sedang bekerja di pusat pemrosesan uranium di Iran.
Para teknisi sedang bekerja di pusat pemrosesan uranium di Iran.
Foto: reuters

Iran mengancam akan melanjutkan pengayaan uranium tingkat tinggi.



CB, MOSKOW -- Kremlin mengatakan Iran telah diprovokasi untuk mengekang ketentuan dalam kesepakatan nuklir 2015, Rabu (8/5). Iran pada Rabu pagi menyatakan menarik diri dari sebagian kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani dengan enam negara.


Iran mengancam akan melakukan lebih banyak jika negara besar tidak melindunginya dari sanksi-sanksi, setahun setelah AS keluar dari kesepakatan tersebut. "Presiden (Vladimir) Putin telah berulang kali berbicara mengenai konsekuensi dari tindakan tanpa dipikirkan berkaitan dengan Iran dan dengan itu saya maksudkan keputusan yang diambil oleh AS (untuk meninggalkan kesepakatan itu). Sekarang kami memandang konsekuensi itu mulai terjadi," kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada wartawan dalam satu taklimat.

Peskov berbicara saat pembicaraan di Moskow antara Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berlangsung. Ketika ditanya apakah Rusia mungkin siap bergabung dengan negara lain dalam menjatuhkan sanksi baru atas Iran sehubungan dengan sebagian pengunduran diri dari kesepakatan itu, Peskov mengatakan, "Untuk sekarang, kami perlu secara bijaksana menganalisis situasi dan bertukar pendapat mengenai ini. Situasinya serius."


Presiden Iran Hassan Rouhani mengancam untuk melanjutkan pengembangan uranium tingkat tinggi jika kepentingan negaranya dalam kesepakatan nuklir dengan beberapa negara kekuatan dunia tidak dilindungi. Atas ancamannya itu, dia memberi waktu hingga 60 hari ke depan.





Credit  republika.co.id


Trump Tampar Iran dengan Sanksi Baru


Trump Tampar Iran dengan Sanksi Baru
AS menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran di tengah meningkatnya ketegangan. Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

WASHINGTON - Presiden Amerka Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan sanksi baru terhadap Iran. Sanksi tersebut menargetkan sektor baja, alumunium, tembaga dan besi Iran yang bernilai sekitar 10 persen dari ekonomi negara itu.

Sanksi tersebut diberlakukan beberapa jam setelah Teheran mengatakan pihaknya mengendurkan beberapa pembatasan pada program nuklirnya.

Pemerintahan Trump mengatakan akan melanjutkan kampanye "tekanan maksimum" pada pemerintah Iran sampai menghentikan kegiatan yang mendestabilisasi kawasan Timur Tengah, menghentikan segala upaya senjata nuklir dan mengakhiri segala pengembangan rudal balistik.

"Teheran dapat mengharapkan tindakan lebih lanjut kecuali secara fundamental mengubah perilakunya," kata Trump, seperti dikutip dari Independent, Kamis (9/5/2019)

Ia juga menyerukan kepada Iran untuk kembali dengan itikad baik ke meja perundingan.

AS, Jerman, Inggris, Prancis, Rusia, China, dan Uni Eropa menandatangani perjanjian dengan Iran pada 2015 yang mencabut sanksi internasional dengan imbalan Teheran membatasi program nuklirnya.

Satu tahun yang lalu, Trump menarik diri dari perjanjian itu, menyebutnya kesepakatan terburuk dalam sejarah. Dia mengatakan perjanjian itu seharusnya juga mengekang program rudal balistik Iran dan apa yang dianggap sebagai kegiatan jahat Teheran di wilayah tersebut.

Negara-negara lain tetap berada dalam kesepakatan nuklir - yang secara teknis dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) - dan telah berusaha memberi Iran insentif ekonomi yang cukup untuk menjaga perjanjian itu tetap bertahan.

Awal pekan ini Washington mengumumkan penyebaran kapal induk dan pembom B-52 ke Timur Tengah untuk melawan apa yang dikatakannya sebagai "indikasi yang jelas" dari ancaman Iran terhadap pasukan AS di kawasan itu. 



Credit  sindonews.com




Israel Bersumpah Tak Akan Biarkan Iran Bersenjata Nuklir Lagi


Israel Bersumpah Tak Akan Biarkan Iran Bersenjata Nuklir Lagi
PM Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah tidak akan membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir setelah Hassan Rouhani mengancam akan memperkaya uranium lagi. (Sebastian Scheiner/Pool)



Jakarta, CB -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah tidak akan membiarkan dan mengizinkan Iran memperoleh senjata nuklir lagi.

"Pagi ini dalam perjalanan, saya mendengar bahwa Iran bermaksud melanjutkan program nuklirnya lagi. Kami tidak akan mengizinkan Iran memperoleh senjata nuklir," ucap Netanyahu, Rabu (8/5).


Pernyataan itu diutarakan Netanyahu menyusul sikap Iran yang mengancam melanjutkan pengayaan uranium jika pihak-pihak penandatangan kesepakatan nuklir 2015 tak membela Teheran dari sanksi Amerika Serikat.

Melalui pidato di stasiun televisi nasional, Presiden Iran Hassan Rouhani melontarkan langsung ancaman tersebut kepada negara-negara yang menandatangani kesepakatan nuklir JCPOA, yakni Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia.


Rouhani memberikan waktu 60 hari bagi kelima negara tersebut untuk berjanji melindungi sektor minyak dan perbankan Iran di tengah sanksi AS.


Netanyahu sendiri telah menjadi penentang keras perjanjian nuklir yang disepakati era Presiden Barack Obama tersebut.

Dilansir AFP, ia bahkan sangat mendukung keputusan Presiden Donald Trump menarik Amerika keluar dari perjanjian itu dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran.

Israel merupakan musuh bebuyutan Iran dan selama ini dianggap sebagai negara dengan kapabilitas militer terdepan di Timur Tengah. Negara Zionis itu juga disebut-sebut sebagai satu-satunya yang memiliki senjata nuklir di kawasan.

Di sisi lain, Iran juga tidak mengakui kedaulatan Israel sebagai negara. Penentangan terhadap pembentukan negara Yahudi telah lama menjadi prinsip utama kebijakan resmi Iran pasca-revolusi.

Iran telah menjadi pendukung setia Palestina dan kelompok-kelompok anti-Israel lainnya, termasuk Hamas dan Hizbullah di Libanon.



Credit  cnnindonesia.com




Prancis Serukan Iran Hormati Kesepakatan Nuklir


Prancis Serukan Iran Hormati Kesepakatan Nuklir
Prancis menyerukan Iran untuk tetap memegang komitmen kesepakatan nuklir 2015. Foto/Istimewa

PARIS - Prancis meminta Iran untuk menghormati semua komitmennya setelah Teheran mengumumkan pihaknya akan melonggarkan beberapa pembatasan terhadap program nuklirnya. Paris memperingatkan terhadap tindakan apa pun yang akan mengarah pada eskalasi.

Iran mengumumkan langkah-langkah untuk menghentikan pelanggaran terhadap kesepakatan 2015 dengan kekuatan dunia, namun Teheran mengancam akan ada tindakan lebih lanjut jika negara-negara kekuatan dunia tidak melindunginya dari sanksi Amerika Serikat (AS).

“Perancis memperhatikan pernyataan ini dengan prihatin. Prancis berkomitmen untuk memastikan bahwa perjanjian ini, kunci untuk rezim non-proliferasi internasional dan keamanan internasional, sepenuhnya dilaksanakan,” kata wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis Olivier Gauvin dalam sebuah pernyataan.

"Adalah penting untuk menghindari tindakan apa pun yang akan menghalangi pelaksanaan kewajiban mereka oleh para pihak yang sekarang terlibat dalam perjanjian atau yang akan memicu eskalasi," imbuhnya.

"Prancis bertekad untuk memastikan bahwa perjanjian itu sepenuhnya dilaksanakan dan bahwa saluran keuangan dan ekspor Iran tetap terbuka," tukasnya seperti dilansir dari Reuters, Kamis (9/5/2019).

Gauvin mengatakan Prancis berhubungan erat dengan pihak-pihak yang tersisa dari perjanjian tersebut, terutama Eropa, untuk meninjau kembali pernyataan Iran.

Amerika Serikat mengatakan belum selesai menjatuhkan sanksi terhadap Iran dan merencanakan lebih "segera". AS memperingatkan Eropa agar tidak melakukan bisnis dengan Teheran melalui sistem perdagangan non-dolar untuk menghindari sanksi AS.

Terbaru, AS menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Sanksi itu menyasar sektor baja, alumunium, tembaga dan besi Iran yang bernilai sekitar 10 persen dari ekonomi negara itu. 




Credit  sindonews.com




Iran Batalkan Beberapa Komitmen Kesepakatan Nuklir 2015


Iran Batalkan
Iran Batalkan

Iran tidak lagi akan mematuhi beberapa "komitmen sukarela" perjanjian nuklir.

Pemerintah Iran hari Rabu (8/5) menyatakan telah memberi tahu para penandatangan Perjanjian Nuklir 2015 bahwa pihaknya tidak lagi akan mematuhi beberapa "komitmen sukarela" yang tertera dalam perjanjian itu. Presiden Iran Hassan Rouhani dalam pidato yang disiarkan televisi, mengatakan, Iran akan melanjutkan program pengayaan uranium jika pihak-pihak lain tidak menepati janji mereka.


Para penandatangan Kesepakatan Nuklir 2015 adalah Iran, Jerman, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia. Iran mengatakan para pihak itu memiliki waktu 60 hari untuk melaksanakan janji-janji mereka untuk melindungi sektor minyak dan perbankan Iran. Jika tidak, Iran akan memulai lagi program pengayaan uraniumnya.

Kementerian Luar Negeri Iran mengumumkan, keputusan itu telah dikomunikasikan kepada para kepala negara pihak penandatangan. Iran menjelaskan bahwa tindakan itu diambil karena Uni Eropa dan pihak-pihak lain ternyata "tidak memiliki kekuatan untuk melawan tekanan AS."


Pernyataan Iran itu dikeluarkan setelah AS mengumumkan mengirim beberapa kapal perangnya ke Timur Tengah sebagai peringatan terhadap Teheran.


Prancis ancam berlakukan lagi sanksi terhadap Iran



Prancis bereaksi terhadap pengumuman dari Teheran dan mengatakan, akan menetapkan lagi beberapa sanksi, jika Iran benar-benar melanggar kewajibannya yang disepakati tahun 2015.


"Kami mengirim pesan ke Teheran untuk mengatakan bahwa kami bertekad untuk mengimplementasikan perjanjian itu, bahwa kami benar-benar ingin mereka tetap dalam perjanjian ini meskipun kami mempertimbangkan kompleksitas situasi dan menyampaikan pesan yang sama kepada sekutu kami Amerika," kata sebuah sumber di kantor kepresidenan Prancis.


Pejabat Prancis itu mengatakan, ada mekanisme penyelesaian perselisihan dalam masalah ini melalui pemeriksaan. Dia juga menambahkan, bahwa sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Iran dapat diberlakukan kembali jika perlu.


Apa latar belakangnya?



AS sebelumnya mengumumkan telah mengirim kapal induk USS Lincoln bersama gugus tugas pembom ke Timur Tengah untuk menghadapi "ancaman kredibel dari pasukan rezim Iran." Washington mengatakan, langkah itu dimaksudkan sebagai pesan yang jelas dan tegas terhadap Teheran.


AS telah meningkatkan sanksi terhadap Iran dalam beberapa bulan terakhir, dan memasukkan Garda Pengawal Revolusi Iran dalam daftar kelompok teroris.


Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo hari Selasa (7/5) melakukan kunjungan mendadak ke Irak untuk membahas situasi di negara itu. Dia menjelaskan, "AS khawatir dengan situasi keamanan di Irak di tengah meningkatnya aktivitas Iran."


Kesepakatan Nuklir 2015, yang awalnya juga ditandatangani AS, menjanjikan pencabuitan sanksi terhadap Iran sebagai imbalan jika Teheran membatasi program nuklirnya. Namun setelah terpilih menjadi presiden, Donald Trump menyatakan AS menarik diri secara sepihak dari kesepakatan itu dan memulihkan sanksi-sanksi ekonomi terhadap Iran yang sebelumnya sudah dicabut.


Trump mengatakan kesepakatan yang dicapai presiden AS sebelumnya, Barack Obama itu adalah perjanjian yang buruk dan merugikan kepentingan AS dan harus dinegosiasi ulang.




Credit  republika.co.id